TERJEMAHAN ISTILAH HUKUM
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM
Untuk maksud yang sama, penerjemah hukum bisa saja
menggunakan istilah yang berbeda. Bahkan para ahli hukum pun bisa menggunakan terminologi
yang mereka anggap paling tepat untuk menamakan suatu konsep hukum. Sebagai
contoh kata dari bahasa hukum Belanda strafbaarfeit
diterjemahkan berbeda-beda menjadi peristiwa pidana, perbuatan pidana,
atau tindak pidana. Bahkan bisa dibilang ada fanatisme penggunaan istilah
berlatar belakang guru besar atau universitas dimana istilah tersebut
dipopulerkan.
Problem Terjemahan Hukum? Hubungi 081802770167 |
Dalam Kamus Hukum terjemahan Prof. Subekti dan R.
Tjitrosudibio ‘verbintenis’ diterjemahkan ‘perikatan’ berbeda pengertian dengan
‘overeenkomst’ yang
diterjemahkan ‘persetujuan’, meski istilah hukum yang lebih populer
adalah ‘perjanjian’. Maka, meski kata ‘persetujuan’ tetap dijumpai di Kamus
Hukum tersebut, kita maklum bahwa yang dimaksud adalah ‘perjanjian’.
Bagaimana cara memahami suatu istilah hukum? Cara
pertama adalah dengan mengetahui filosofi hukumnya. Kita patut menduga bahwa strafbaarfeit
diterjemahkan menjadi peristiwa pidana karena berangkat dari filosofi
yang berbeda dengan perbuatan pidana dan tindak pidana. Bagaimanapun
‘mortgage’ yang kita kenal dalam sistem Anglo Sakson tidak otomatis sama
dengan konsep ‘hipotek’ dalam sistem hukum Indonesia. Cara kedua
adalah dengan memperhatikan penerimaan yang lazim dalam doktrin hukum. Kita
harus tahu bahwa ‘oneerlijke concurrentie’ atau ‘unfair
competition’ sudah lazim diterjemahkan menjadi ‘persaingan curang’. Anehnya,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menerjemahkannya ‘persaingan tidak
sehat’. Cara ketiga adalah dengan
efisiensi bahasa dalam teknik hukum.
Bahasa hukum haruslah ringkas dan padat, terhindar dari kemubaziran struktur
maupun kosa kata. Sayangnya, sebagai produk politik, warna politik dalam bahasa
hukum lebih kentara dalam perbendaharaan hukum positif kita. Pernah
terjadi pergulatan politik antara penggunaan istilah ‘serikat pekerja’ atau
‘serikat buruh’ dalam di UU Ketenagakerjaan. Karena kedua-duanya dianggap tepat, maka setiap
frasa ‘serikat pekerja’ ditulis bersamaan (dengan garis miring) dengan frasa ‘serikat
buruh’. Tentu ini pemborosan dan tidak sesuai dengan teknik hukum.
Kini saatnya
menegakkan konsistensi atau pembakuan istilah agar memudahkan para pembelajar ilmu
hukum. Penggunaan istilah secara konsisten juga bisa menghindarkan kita dari
kekaburan esensi hukum. Semua istilah hukum dalam hukum positif Indonesia haruslah
semakin mudah dibaca (readable) dan semakin mudah dipahami (understandable)
bagi subjek hukum domestik maupun subjek hukum asing. Dengan campur tangan
negara, kita bisa mencegah liarnya hasil terjemahan hukum supaya kelak,
misalnya, tidak muncul hasil terjemahan yang membingungkan berupa “unhealthy
competition” yang dianggap sepadan dengan istilah “oneerlijke
concurrentie'” atau “unfair competition””.
Sumber: Shidarta, 2015;
Hadikusuma, 2010