MENGAPA BISNIS
HARUS ETIS?
Atas
suruhan ibunya, seorang anak kecil membeli satu kilogram telur di warung.
Betapa kagetnya si anak saat menerima sekantung telur dari pemilik warung. Dia
curiga telurnya tidak genap 1 kilogram. Dia pun protes, “Pak kenapa sedikit sekali? Tidak
genap 1 kilogram ya?” Dengan santainya pemilik warung menjawab: “Sengaja saya
kurangi nak, supaya kamu ringan
membawanya.” Jengkel dengan kecurangan itu, si anak menyerahkan uangnya
pada pemilik warung. Kali ini, pemilik warung yang kaget dan berseru, “Eh nak,
uangnya kurang nih. Kan mestinya Rp. 10.000,-? Dengan kalem si anak menjawab,
“Sengaja saya kurangi biar Bapak mudah menghitungnya.”
Perspektif Moralistik
Hakikatnya, orang menjalankan
usaha komersial untuk menghasilkan keuntungan , sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pemilik dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Keuntungan merupakan kata kunci dalam kegiatan
bisnis, seperti yang dikatakan oleh Fry dkk (2002) bahwa sebagai sebuah
organisasi yang berusaha memenuhi permintaan barang dan jasa yang dibutuhkan
pelanggan, bisnis selalu mencari
keuntungan. Sejatinya, keuntungan adalah
‘darah’ bagi setiap kegiatan usaha
perdagangan barang maupun jasa. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan usaha
itu sangat bergantung pada keuntungan untuk kelangsungan hidupnya. Demikian
pula, perkembangan usaha pun sebagian
ditentukan oleh besar-kecilnya laba yang ditahan dan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan
meningkatkan skala (scale-up)
sehingga sebagai ‘organisme’, perusahaan pun perlu tumbuh agar bisa beradaptasi
dengan perubahan lingkungan.
Namun, bisnis juga perlu
mengadopsi nilai- nilai moral agar bisnis dijalankan secara etis. Bisnis yang
etis memperhatikan kepentingan holistik semua pemangku kepentingan, dalam
pengertian hubungan bisnis harus bersih, jujur, saling menguntungkan, dan
bermanfaat. Mencari keuntungan tidak boleh menghalalkan segala cara. Pedoman moral menjadi penting karena menurut Robert
Heilbroner, seorang ekonom Amerika, kalau pencarian keuntungan menjadI motif utama bagi
bisnis, dengan sendirinya bisnis mengejar kepentingan diri yang berlanjut pada tumbuh suburnnya
egoisme. Pengusaha yang egois selalu melihat kelangsungan bisnisnya untuk kepentingannya sendiri dan menutup
mata kepentingan orang lain. Kalau
perlu dia mengorbankan kepentingan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Bisnis yang berhasil, masih menurut Fry dkk
(2002) adalah bisnis unggul sepanjang waktu, bukan hanya bisnis yang
berjaya sesaat karena muslihat tertentu. Bisnis yang berhasil
juga tidak mencari keuntungan finiansial besar dengan mengorbankan moralitas, komitmen kerja yang rendah,
produk-produk yang buruk, atau perilaku
tidak etis lain.
Dalam literatur Yunani kuno, Aristoteles (384-322 SM) bahkan menolak
perdagangan dan penumpukan kekayaan karena kegiatan menambah kekayaan adalah
tindakan tidak etis. Dalam kegiatan krematistik yang berorientasi penumpukan kekayaan, dengan uang
sebagai alat penyimpan kekayaan, ada kecenderungan penguasaan kekayaan secara tidak
merata dan sangat tidak terbatas. Perilaku bisnis yang tidak etis juga
ditimbulkan oleh sifat cinta uang (phylargia).
Dengan prinsip deontologi, ajaran agama
sudah menetapkan batas yang
diwajibkan untuk dilakukan, dan batas yang dilarang. Immanuel Kant (1724-1804),
seorang filsuf Jerman ternama, menyebut
bahwa sebuah tindakan disebut baik bila dilakukan berdasar prinsip
‘imperatif kategoris’, yaitu
kepatuhan tanpa syarat pada norma yang
sudah ditetapkan.
Relevansi Etika vis-a-vis Hukum
Dalam menanggapi protes
masyarakat, sejumlah perusahaan berdalih
bahwa mereka telah mematuhi semua
ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Dengan kata lain, mereka merasa sudah
benar. Mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku tidak otomatis menjamin bahwa
perusahaan sudah berlaku etis. Fry dkk. (2002) mengatakan bahwa perusahaan
yang berperilaku taat hukum baru memenuhi standar perilaku minimum yang berlaku
di masyarakat. Ketidakpatuhan pada hukum berakibat pada hukuman, atau lebih
buruk lagi berupa kebangkrutan karena kehilangan kepercayaan dari pelanggan,
karyawan, pemasok, dan pesaing. Namun, perlu diingat bahwa bisnis yang tidak
melanggar hukum tidak berarti sudah
benar atau baik. Adagium ini dikuatkan
Boatright (1993) yang menolak adagium
klasik yang diadopsi para pelaku usaha bahwa “Bila bisnis sudah taat hukum,
maka berarti secara moral tidak ada masalah” . Menurutnya, lebih tepat
dikatakan bahwa bahwa “Bila suatu tindakan secara moral salah, maka kemungkinan
secara hukum juga salah.” Perusahaan
Amerika “Kansas Asbestos Company”
mendapat untung besar dengan memindahkan
pabriknya ke Afrika Barat. Perusahaan itu mematuhi semua persayaratan
yang berlaku di wilayah tersebut. Tetapi dimensi etis perlu dipertanyakan,
mengingat perusahaan itu merusak kesehatan para pekerja Afrika, yang di
negerinya sendiri telah dilarang. Demikian pula perusakan lingkungan oleh
kegiatan penambangan atau pengelolaan hutan. Secara hukum, semua perijinan dan
persyaratan telah terpenuhi. Tetapi sudah cukupkah hukum mengatur dan melindungi kepentingan warganya dari
keserakahan bisnis kapitalistik itu?
Ada alasan mendasar mengapa
sikap etis diperlukan untuk melengkapi hukum. Bertens (2002) menyebutkan lima alasan, yaitu bahwa (1) hukum tidak
mengatur segala hal, sehingga selalu ada bagian yang bisa manipulasi; (2)
perkembangan hukum selalu kalah cepat dengan perkembangan bisnis, sehingga,
sebagai contoh, undang-undang tentang
lingkungan baru dibuat ketika kerusakan lingkungan sudah sangat parah; (3) selalu ada celah hukum yang sering
disalahgunakan; (4) penegakan hukum yang
lemah; dan (5) hukum selalu memiliki multitafsir, yang menyiratkan perlunya
landasan moral agar tafsir bisa jujur
dan bersih.
Menurut teori keutamaan manusia
harus mengedepankan kebajikan (virtue)
dalam setiap sikap dan perilakunya. Ini selaras dengan yang dikatakan Solomons
(1993) bahwa teori keutamaan mensyaratkan manusia sebagai makhluk moral harus
menanyakan pada dirinya sendiri apakah mereka telah menjadi orang yang adil,
jujur, murah hati, dan sebagainya. Ini yang disebut hakikat internalisasi kultural.
Bukan sekedar bertanya apakah yang mereka lalukan sudah sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan atau kejujuran
yang diatur undang-undang semata.
Persaingan Bisnis dan Perilaku Etis
Persaingan merupakan salah
satu mesin penggerak kemajuan dalam bisnis. Kotler (2003) menyatakan bahwa
seiring dengan semakin kompetitifnya
pasar, memfokuskan strategi pada
pelanggan saja tidak cukup. Perusahaan
harus mulai memperhatikan
pesaing. Dengan persaingan bisnis
dipaksa mencari cara-cara kreatif dan inovatif dalam memelihara kelangsungan
hidupnya. Bila dilakukan secara sehat, persaingan adalah ‘jamu’ bagi
perkembangan usaha. Persaingan usaha
menyiratkan perlunya ‘strategi mengalahkan pesaing’. Persaingan yang sehat tentu menuntut
kreatifitas dan inovasi yang
menghasilkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Diperlukan upaya
yang tekun, telaten, dan terus menerus
untuk berkembang secara sehat, dengan cara-cara yang fair.Masih menurut Kotler
(2003) persaingan melibatkan pesaing yang bukan saja pembuat atau penjual
barang serupa, tetapi juga barang substitusi. Selain itu, persaingan juga bisa
lebih sengit dengan ancaman masuknya
pemain baru, atau meningkatnya posisi
tawar konsumen karena kemampuan mereka memilih penjual barang atau penyedia
jasa, padahal persaingan yang ada sudah melibatkan banyak pemain dan sudah
padat, seperti suatu pertarungan di laut merah, dimana pemainnya terlalu banyak
dan harus bertarung berdarah-darah.
Kondisi terakhir ini, terutama
telah menyebabkan persaingan yang tidak sehat, seperti perang harga, perang iklan, atau peluncuran produk baru.
Menjual barang dengan harga murah sering disertai penurunan kualitas produk
maupun layanan. Secara internal, upah
karyawan pun ditekan agar harga bisa bersaing. Lebih buruk lagi, perang harga
juga disertai keengganan mengeluarkan biaya pengelolaan limbah. Bisa dikatakan bahwa malapraktik bisnis bisa
berdampak merugikan pada, diantaranya, konsumen, karyawan, dan lingkungan.
Korban Malapraktik Bisnis
Perang promosi cenderung menimbulkan kerugian pada
konsumen. Kepiawaian teknik visualisasi
grafis dan pengolahan bahasa iklan (copywriting) cenderung mengkamuflase
kualitas barang, dari yang sebenarnya biasa-biasa saja dikesankan sangat
istimewa. Biaya iklan yang besar juga selalu membebani harga jual. Akibatnya, konsumen harus membayar lebih
mahal dari seharusnya.
Persaingan merebut pembeli
juga mendorong pelaku usaha menempuh segala cara, termasuk dengan mengelabui konsumen. Dalam skala masif, banyak
konsumen yang menanggung rugi karena rumah yang dibelinya tidak sesuai dengan
spesifikasi yang dijanjikan
pengembang. Di sisi lain, konsumen
pembiayaan konsumen terkaget-kaget karena banyak klausul ‘siluman’ yang
baru diketahuinya belakangan, yang memojokkan posisinya. Sementara itu, banyak
sekali ‘anggota’ atau ‘anggota’ lembaga keuangan non-bank yang harus menangis
karena dana yang dititipkannya tak pernah bisa diambil kembali.
Perusahaan mengetahui dengan
persis desain produknya, bahan yang digunakan, proses pengolahannya, pengujian
keamanannya, dan promosinya. Di sisi lain, konsumen percaya begitu saja pada
perusahaan saat melakukan transaksi. Tak heran,
perusahaan yang curang bisa menyembunyikan cacat produknya dan
menonjolkan kelebihannya. Secara umum kecurangan perusahaan, sebagaimana
dilawan oleh gerakan konsumerisme yang dimotori oleh Ralph Nader dikelompokkan
menjadi 3 (tiga), yaitu: produk yang brengsek, promosi yang tidak jujur, dan
cara berdagang yang curang.
Produk yang tidak baik bisa
dimaknai tidak sesuai dengan yang dijanjikan, berbahaya, lebih mahal dari
seharusnya, atau tidak sesuai dengan
kebutuhan konsumen. Barang berkualitas rendah mungkin disebabkan oleh bahan yang berkualitas rendah (cacat bahan) atau
proses pengerjaannya yang tidak sesuai standar produksi (cacat produksi). Dalam
bidang jasa, kualitas yang buruk biasanya terwujud pada pelayanan yang tidak
tepat waktu, tidak ramah, tidak profesional, dan / atau tidak sesuai kebutuhan.
Posisi konsumen jasa menjadi lebih
rentan, karena sifat jasa
yang baru bisa dirasakan saat dikonsumsi. Ini berbeda dengan barang
yang bisa dilihat atau diukur sebelum
dikonsumsi.
Sejak diundangkannya UU No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia tingkat kesadaran konsumen
semakin tumbuh seiring dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN) di tingkat pusat dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di
tingkat daerah (Sudaryatmo, 2006).
Fungsi perlindungan diberikan melalui fungsi ajudikasi dan mediasi untuk
sengketa yang timbul antara konsumen dan pengusaha. Selain itu ada lembaga
yang dibentuk atas inisiatif
masyarakat, yang disebut Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan ombudsman. Kita tentu
berharap lembaga-lembaga ini berparan optimal dalam mengawal penegakan perilaku
bisnis agar etis.
Selain itu, sebagian
perusahaan berusaha memenangkan persaingan dengan menekan biaya produksi, yang
salah satunya mewujud pada biaya upah yang
rendah. Sungguh ironis bila perusahaan
merugikan karyawannya sendiri, yang mestinya diperlakukan istimewa ‘sebagai anggota keluarga
perusahaan’. Seperti yang dikatakan Abby (2006), kerugian karyawan biasanya
berupa tidak terpenuhinya hak-hak normatif mereka berupa hak ekonomis, hak
politis, hak medis, dan hak sosiologis, setelah
mereka memenuhi kewajiban-kewajiban yang sudah diatur secara ketat dan
diawasi secara galak oleh perusahaan. Meski
Undang-Undang No. 23 tahun 2003 telah mengatur hubungan kerja sedemikian rupa
antara pengusaha dan karyawan, dalam
praktiknya, hubungan keduanya sering berjalan timpang. Ketergantungan ekonomis
karyawan pada perusahaan karena sempitnya kesempatan kerja menempatkan karyawan
pada kepasrahan yang menahun.
Karyawan sering berada pada
posisi tidak berdaya. Menolak aturan perusahaan yang sangat berat dan mengekang berarti kehilangan kerja yang
menghasilkan uang demi kepul asap dapurnya. Karena adanya ketimpangan kuasa
terhadap perusahaan yang ‘jahat’, para
karyawan, terutama yang berlabel buruh, sering mengalami dilema kronis antara
terus bekerja dengan kondisi buruk atau berhenti kerja dengan risiko
menelantarkan keluarga.
Maka, langgenglah para buruh bekerja
dengan kondisi kerja yang buruk, kompensasi dan remunerasi yang rendah,
penetapan waktu kerja dan libur atau cuti yang tidak manusiawi, dan tentu saja,
kegiatan sosial maupun politik yang dikekang.
Sayangnya, sebagian besar
karyawan tidak memiliki sistem yang solid untuk memperjuangkan hak-hak normatif
mereka. Hak-hak dasar yang mestinya
menjadi fondasi kesejahteraan karyawan
ini rawan dimanipulasi sedemikian
rupa melalui kooptasi yang sistematis, terstruktur, dan masif, diantaranya
dengan membentuk serikat pekerja ‘pesanan perusahaan’. Malah
sebagian perusahaan melarang
pembentukan serikat pekerja. Ini menjadi
‘pintu masuk’ sebuah labirin panjang berupa rendahnya kesejahteraan buruh. Tanpa
organisasi ini, perjuangan
individual menuntut
kesejahteraan menjadi sangat berat. Tak
pelak, perusahaan adalah pemeagang kuasa tunggal untuk menentukan segala peraturan perusahaan yang
searah. Tidak ada perjanjian kerja bersama, karena tidak ada representasi karyawan atau buruh. Maka, terampaslah hak
ekonomis, medis, sosiologis, dan politis karyawan.
Bisnis yang baik harus
memprhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu masyarakat dan lingkungan. Semangat ‘triple bottom lines’ mengingatkan pelaku bisnis untuk tidak semata
mengejar keuntungan finansial (financial
profit) semata, tetapi juga harus
berkontribusi pada manfaat bagi masyarakat (social
profit) dan melestarikan lingkungan (environmental
profit). Karena alasan menekan biaya
produksi, sejumlah perusahaan membuang limbah pabriknya ke perairan umum seperti
sungai. Bukan hanya perusahaan skala besar yang membuang limbah polutan di wilayah
publik, usaha rumahan seperti binatu yang jumlahnya sangat banyak itu
juga berkontribusi dalam pencemaran
lingkungan. Mereka enggan mengolah limbah karena akan mengurangi margin keuntungannya.
Pengalihan fungsi hutan yang mengakibatkan banjir juga dilandasi keserakahan kapitalisme yang tak bermoral.
Polusi industri merambah air, tanah, dan udara sehingga memperburuk kualitas
daya dukung lingkungan.
Kerusakan lingkungan berdampak
buruk bagi masyarakat. Di lingkungan kompleks usaha perhotelan, yang semuanya menggunakan sumur dalam, warga
sekitar kesulitan air. Warga yang tinggal di sekitar pabrik menderita
gatal-gatal karena airnya tercemar logam berat, atau sesak napas yang timbul
dari zat kimia yang terkandung dalam limbah asap. Sama buruknya, masyarakat terganggu
usaha karaoke atau diskotik di lingkungan padat penduduk.
Paradigma Pragmatis
Meski hingga saat ini sejumlah
pelaku usaha masih meragukan konsep moral dan etis dalam kegiatan bisnis karena dianggap hanya menjadi biaya
sosial, absurd dan naif,
sejumlah perusahaan besar
sudah membuktikan manfaat dari bisnis etis. Kepedulian Merck and Company pada pengobatan penyakit “river
blindness” pada masyarakat desa yang
tiinggal di sepanjang tepi sungai di wilayah-wilayah tropis di Afrika dan
Amerika Latin terbukti menjadi inivestasi sosial yang kelak membuahkan
keuntungan, termasuk keuntungan finansial. Dengan mengambil risiko kerugian
material untuk meneliti, menguji, dan memproduksi obat gratis untuk para
penduduk miskin yang nyaris putus asa dirundung sakit luar biasa dan terancam
kebutaan, nama Merck and Company mendapat simpati masyarakat sebagai perusahaan
yang peduli pada isu kemanusiaan dan akan membalasnya dengan sikap positif pada
perusahaan. Demikian pula, kepedulian Perusahaan itu sigap mengantar streptomycin ke Jepang untuk memberantas
tuberculosis setelah Perang Dunia II. Meski saat itu tidak mendapatkan
keuntungan finansial, saat ini Merk and Company dikenal sebagai perusahaan
farmasi Amerika terbesar di Jepang saat ini (Velasques, 2006).
Di waktu yang lain, Johnson
& Johnson (J&J) membuktikan bahwa tanggungjawab keamanan produk bagi
konsumen tak bisa ditawar-tawar lagi. Ketika diduga bahwa Tylenol produksinya menyebabkan tujuh orang
meninggal misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago tahun 1982, J&J segera menarik semua produknya dari
pasaran dan melakukan penyelidkan serius.
Belakangan diketahui bahwa keracunan itu bukan disebabkan oleh kesalahan
produksi J&J tetapi karena ada orang yang sengaja memasukkan sianida ke
bototl-botol Tylenol. Kesigapan J&J dalam menjaga kesehatan dan keselamatan konsumen menumbuhkan reputasi
bagus di mata masyarakat. Saat Tylenol kembali masuk ke pasar dengan kemasan yang lebih aman, produk itu
kembali menjadi pemimpin pasar.
Doug Lennick dan Fred Kiel
(2005) sebagaimana dikutip oleh It Pin (2009) menyimpulkan bahwa perusahaan
yang menerapkan standar etika dna moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam
jangka panjang. Miliuner Jon M Huntsman (2005) menegaskan bahwa dirinya sukses
besar karena memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Perubahan Kultural
Mengatur pelaku usaha dengan
perangkat hukum tentu sudah banyak dilakukan. Tengoklah undang-undang tentang
perlindungan konsumen, ketenagakerjaan, larangan monopoli, dan sebagainya. Selain
itu, juga sudah dibentuk sejumlah badan, lembaga, atau kantor yang terkait
dengan ikhtiar perbaikan tata kelola usaha
yang berupa arbitrase, mediasi, atau ajudikasi. Sayangnya, ternyata hukum yang ada belum
benar-benar bisa menjadi panutan dalam pengelolaan usaha yang sehat. Selalu ada
celah hukum yang dimanfaatkan orang untuk mengejar kepentingan pribadi. Jargon
yang populer adalah bahwa mereka tidak ‘breaking
the rule’. Mereka mengklaim tidak melanggar
hukum apa pun. Yang mereka lakukan adalah ikhtiar kreatif dengan mensiasati aturan
(bending the rule). Bukankah
sebenarnya yang dimaksud adalah
mengakali hukum? Disinilah pentingnya pertimbangan etis dalam kegiatan
bisnis, karena ternyata hukum tidak selalu memadai untuk membingkai perilaku
pelaku usaha.
Kesadaran berperilaku etis
bisa menambal celah-celah hukum yang memang tidak akan pernah utuh dan sempurna. Jadi selain penegakan aturan dengan aturan
hukum (langkah struktural) yang sifatnya
lahiriah dengan pembebanan sanksi, denda, atau hukuman diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh untuk menanamkan nilai-nilai etis (perubahan kultural) yang menyentuh perbaikan dimensi
lahir maupun batin. Bisnis berlangsung baik bukan karena takut sanksi atau
hukuman, tetapi karena memang berniat berbuat baik. Perubahan kultural ini
bersifat evolutif tetapi fundamental melalui penumbuhan kesadaran tentang
kebajikan dalam hubungan dengan sesama.
Timbul pertanyaan, bagaimana
mengukur bahwa suatu sikap atau perilaku bisnis sudah etis atau belum. Sebagai
sebuah konsep yang, menurut sebagian
orang, absurd, penafsiran etika memerlukan penilaian yang jujur dan bersih. Paling
tidak ada tiga pedoman dasar untuk mengukur apakah pengelolaan usaha sudah etis: (a) mendengarkan hati
nurani, yaitu lubuk hati yang paling dalam, bukan hati dalam arti kemauan; (b)
menerapkan prinsip empati, yaitu bahwa penjual harus bisa menempatkan diri
seolah-olah sebagai pembeli; dan (c) menerapkan audit sosial, dengan
mendengarkan atau memperhatikan
kepatutan atau kelayakan dari sudut pandang masyarakat. Artinya, dalam
berbisnis semestinya pelaku usaha selalu ‘bertanya’ pada hati nuraninya
apakah yang dilakukannya baik atau
tidak. Selain itu, kebiasaan tulus memahami pemikiran dan perasaan konsumen
akan menjadi filter bagi pengusaha untuk tidak merugikan konsumen. Prinsip ini
sejalan dengan kata mutiara ‘jangan mencubit bila kau tak ingin dicubit.’ Dan
tak kalah pentingnya, pertimbangan baik dan buruk juga harus memperhatikan
kemaslahatan masyarakat.
Diperlukan advokasi pada para
pemangku kepentingan. Pertama, perlu inkulturasi paradigma investasi sosial
berupa praktik bisnis etis. Mereka perlu sadar bahwa perilaku etis merupakan
modal sosial yang pada saatnya akan meningkatkan profitabilitas. Ini penting
mengingat sejumlah pengusaha menganggap
keharusan bersikap dan berperilaku etis dalalm bisnis adalah biaya sosial yang
memberatkan dan mubazir. Kedua, perlu advokasi pada pemerintah agar lebih asertif dalam menjalankan fungsi pembuatan
kebijakan dan peraturan, pengawasan, dan pembinaan. Fungsi perijinan usaha harus diperketat. Bisa
juga diperkenalkan pemberian insentif bagi perusahaan yang berlaku etis.
Ketiga, perlu pendidikan pada masyarakat (termasuk konsumen dan tenaga kerja)
agar lebih kritis dalam melindungi kepentingan diri mereka dari kemungkinan
mendapat produk yang buruk, tertipu iklan yang tidak jujur, atau terjerat
muslihat jahat dalam transaksi. Sebenarnya, bila sudah terbentuk
masyarakat yang kritis, akan sulit bagi mereka untuk ‘dirugikan’ oleh
pelaku usaha yang culas dan jahat. Bukankah selalu lebih baik bila kita ‘Teliti
sebelum membeli!’
Supriyono, MM
Wakil Ketua Jogja Mediation
Center (JMC), Mediator
Korespondensi email: mediasi_konflik@yahoo.com
Korespondensi email: mediasi_konflik@yahoo.com