Seorang ibu pengguna jasa parkir protes pada penjaga parkir
yang memungut jasa parkir Rp. 2.000,- , biaya parkir yang dipungut oleh ‘komunitas’ atau
‘paguyuban’ bisa lebih tinggi lagi.
Tarip parkir memang mahal, tahu?! |
Meski sebenarnya sudah ada payung hukum retribusi parkir, yang selanjutnya tertera pada papan-papan
tarif retribusi parkir di tempat-tempat parkir resmi, dengan karcis parkir
resmi, dan oleh petugas parkir resmi pula, pelanggaran masih juga terjadi. Kata
‘resmi’ disini merujuk pada pengertian tempatnya sudah ditentukan, tarifnya
sudah ditetapkan, dan petugasnya pun mengantongi ijin dari pemerintah daerah. Tapi
masalahnya, banyak tempat parkir tidar resmi (yang tidak menyetorkan sebagian pendapatannya
ke pemerintah daerah), oleh tukang parkir ‘unauthorized’ (yang tiba-tiba dan
baru muncul saat memungut ‘uang jasa’), dengan karcis yang tidak resmi (karcis
bekas, karcis buatan sendiri, atau bahkan tanpa karcis sama sekali).
Korupsi di Akar Rumput
Mengutip biaya di luar atau lebih dari yang ditentukan
adalah pungutan liar (pungli). Pungli adalah salah satu bentuk penyakit kronis
dan endemis yang disebut korupsi di masyarakat kita. Disebut kronis karena
sudah menjadi ‘penyakit menahun’, sehingga seolah menjadi suatu kewajaran.
Disebut endemis karena dilakukan bukan oleh pejabat politik maupun pemerintahan
dalam skala milyaran (atau bahkan trilyunan), tapi juga oleh ‘rakyat kecil’ ,
termasuk tukang parkir, di mana-mana. Korupsi
melalui pungli di tempat parkir tak
kalah dengan pungli oleh para pejabat pemerintah maupun pejabat politik di
sarang-sarang korupsi. Meski hanya
dengan skala dan nominal kecil, pungli
oleh ‘rakyat kecil’ ini sama menyengsarakannya dengan korupsi oleh koruptor
kakap. Uang seribu rupiah yang dikutip oleh tukang parkir jelas sangat memberatkan
‘rakyat kecil’ lain yang menggunakan jasa parkir. Lagi pula kadang pungli parkir juga tidak
rasional. Untuk belanja Rp. 500,- di sebuah toko kecil, dipungut biaya parkir
Rp. 1.000,-. Keluarga yang mencari ‘hiburan’ di ruang publik (karena diyakini
gratis), ternyata justru dipungut pungli parkir. Ada dualisme pemahaman parkir
yang dijadikan legitimasi oleh para tukang parkir. Di satu sisi sebagai
retribusi parkir (yang artinya tukang parkir sebagai pengumpul ‘pajak’ parkir
pemerintah). Parkir jenis ini biasanya
di pungut di jalan-jalan besar. Di sisi lain sebagai penjaga keamanan
kendaraan. Tetapi, apa pun argumennya, dua hal itu sering menjadi sumber
kecurangan. Kecurangan dalam kategori pertama diantaranya adalah: tukang parkir
mengutip ongkos lebih tinggi, menggunakan karcis bekas, atau bahkan tanpa
karcis sama sekali. Kecurangan dalam kategori kedua adalah ‘tukang parkir’ yang hanya mengutip uang parkir, dan tidak
menjalankan fungsi mengamankan. Bagaimana mereka bisa disebut berjasa
mengamankan kalau sepeda motor diparkir di depan toko hanya 5 menit, dan si
pemilik pun tetap menungguinya?
Bolehlah ada argument bahwa keberadaan tukang parkir itu
mengurangi pengangguran, meningkatkan taraf ekonomi keluarga mereka. Tapi
apakah tidak disadari bahwa cara itu juga menyengsarakan taraf ekonomi sesama
(maksudnya yang sama-sama ekonomi sulit)? Pungli parkir menjadi beban berat
bagi mahasiswa miskin yang karena tugas akademiknya harus bolak-balik fotokopi,
misalnya, dan wirausahawan kecil yang harus berkali-kali belanja berbagai
keperluan kecil, atau keluarga miskin yang harus bolak-balik dari kelurahan,
kecamatan, dan kantor dinas untuk mengurus Jamkesda, KMS, atau minta dispensasi
biaya sekolah?. Istilah ekonominya, pungli parkir telah menyebabkan ‘ekonomi
biaya tinggi’. Bayangkan, berapa banyak kita harus membayar untuk keperluan
‘berhenti’ beberapa kali di jalan raya (kadang jalan kecil), di halaman toko kecil (yang sambil belanja
kita bisa mengawasi sendiri keamanan kendaraan kita), tempat-tempat publik,
atau di halaman perkantoran (yang mestinya gratis?).
Inkonsistensi
Penegakan Aturan
Semestinya pemerintah (pemerintah daerah) menegakkan
peraturan perparkiran yang sudah ditetapkan dan
dengan tegas memberlakukan sanksi bagi setiap pelanggaran. Tetap
meraknya pungli perparkiran ini patut ditengarai adanya pembiaran oleh
pemerintah daerah (baik melalui sistematika birokrasi maupun alasan kekurangan
sumberdaya penegak aturan atau karena alasan ‘membiarkan orang mencari
nafkah’). Hakekat permasalahan ini adalah perlunya para pemangku kepentingan
menjunjung tinggi peraturan perparkiran yang sudah disepakati. Perlu diingat
bahwa peraturan daerah adalah suatu ‘kesepakatan’ antara para pemangku
kepentingan perparkiran. Berapa pun taripnya (termasuk bila taripnya harus
‘mahal’ seperti yang saat ini dipungut oleh para tukang parkir), bila memang
sudah diatur dan ditetapkan dalam peraturan daerah, semua pemang kepentingan
harus tunduk. Dengan demikian transaksi
jasa perparkiran akan menjadi lebih ‘fair’.
Tentu saja tidak berarti pemerintah daerah bisa menetapkan tarip parkir
sesukanya. Justru itulah demokrasi harus dijalankan dengan seutuhnya. Proses
pembahasan tarip parkir sebelum ditetapkan harus melibatkan semua pihak,
termasuk pemerintah daerah, tukang parkir, dan pengguna jasa parkir. Perdebatan bisa saja sangat sengit, tetapi
ketika sudah disepakati aturannya
(tempat maupun taripnya), sudah semestinya semua pihak mematuhinya: pengguna
parkir membayar dan tukang parkir menerima sesuai tarip parkir. Jadi tidak ada
alasan lagi tarip parkir tidak sesuai dengan ‘kebutuhan hidup layak’ tukang
parkir, atau tidak sesuai dengan ‘kemampuan bayar’ pengguna jasa parkir.
Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi harus komprehensif dan holistik.
Pertama, definisi korupsi harus dipertegas. Mestinya korupsi (secara hakekat)
dimaknai bukan saja sebagai kegiatan
yang menimbulkan ‘kerugian negara’ sebagaimana definisi formal saat ini. Korupsi
harus mencakup segala tindakan mengambil keuntungan tanpa hak dan kewenangan.
Pungli parkir adalah salah satunya. Yang disoroti bukanlah pada besar-kecilnya
tarip resmi, tapi pada tidak dipatuhinya aturan yang sudah ditetapkan.
Kebiasaan korupsi kecil-kecilan (meski secara kumulatif jumlahnya bisa
fantastis!) seperti pungli parkir ini
harus dihentikan. Korupsi
‘kecil-kecilan’ ini harus dihapus, karena bila dibiarkan akan berkembang
menjadi ‘watak’ yang sifatnya langgeng dan menular.
Kalau memang uang jasa parkir di rasa kurang oleh para
tukang parkir, maka perjuangkan tarip parkir yang ‘lebih rasional’ melalui
jalur yang ada. Toh selama ini komunitas parkir selalu dilibatkan dalam
pembahasan tarip parkir. Alasan memberi pekerjaan pada tukang parkir
‘unauthorized’ juga tidak bisa sepenuhnya dibenarkan. Secara mikro, ada
penambahan pendapatan (dan perbaikan taraf ekonomi) pada mereka, tapi di sisi
lain menjadi beban bagi masyarakat. Secara makro, pungli parkir ini menjadi
salah satu unsur membengkaknya biaya ekonomi, sehingga mengurangi margin
keuntungan, menurunkan produksi, menyempitkan kesempatan kerja. Bukankah ini
mengarah ke apa yang disebut ‘lingkaran setan’?
Betul bahwa menjadi tukang parkir ‘bukan pilihan’ karena
sempitnya lapangan kerja akibat kegagalan pemerintah menciptakan pertumbuhan
kesempatan kerja. Tetapi logikanya tidak boleh dirancukan dengan membolehkan
pelanggaran hokum, termasuk menyerobot lahan publik untuk parkir, menggarong
uang sesama warga Negara melalui tarip parkir yang di ‘mark up’. Kita harus
biasa hidup dengan mematuhi hokum. Pertama, kita harus menyatakan bahwa
tindakan itu salah, apa pun argumennya. Dengan begitu praktik itu harus
ditertibkan, atau bahkan dilarang. Nah, kewajiban pemerintah untuk menyediakan
lapangan kerja. Bila pelanggaran itu dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan, terus menjadi kelaziman, dan
lama-lama akan dianggap ‘benar’. Sesat pikir ini menyebabkan kusutnya
penertiban hokum, khususnya dalam bidang perparkiran.
Mari kita mulai dari memperbaiki hal-hal kecil, dari
lingkungan kecil, untuk mencapai hasil yang besar dan skala yang massif.
Supriyono