Etika adalah seperangkat nilai kebaikan yang menjadi pedoman manusia dalam bertindak agar pantas dan patut, memuliakan martabat manusia, dan menjunjung tinggi hakikat kemanusiaan. Kita disebut beretika bila (a) Kita mengikuti hati nurani (yang bersih); (b) Kita berempati pada keadaan orang lain; dan (c) Yang kita lakukan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (audit sosial) (Kees Bertens).
Senin, 22 November 2010
IKLAN YANG BERETIKA
Iklan adalah salah satu alat pemasaran yang penting. Dengan iklan perusahaan ingin menarik perhatian calon konsumen tentang barang atau jasa yang ditawarkannya. Banyak orang memutuskan membeli suatu barang atau jasa karena pengaruh iklan yang sedemikian atraktif tampilan visualnya. Kecermatan menimbang dan rasionalitas pemikiran seringkali ‘kalah wibawa’ dengan semangat hedonis yang ditawarkan iklan. Tapi selalu saja banyak orang yang kemudian kecewa, karena spesifikasi atau manfaat barang yang dibeli tidak seperti yang ditawarkan. Salah satu contoh adalah iklan perumahan. Iklan perumahan menyajikan tampilan gambar rumah yang memiliki estetika desain yang sangat elok, yang diklaim dekat dengan akses jalan ke kota, hunian yang nyaman dan investasi yang menguntungkan. Tapi apa mau dikata, baru dihuni tiga bulan, rumah yang dibeli sudah mulai rusak: dinding retak, atap bocor, bentuk pintu tak lagi simetris, halaman ambles, dsb. Apa yang salah?
Dalam bukunya Marketing Management, Kotler (2003) menyebutkan dengan iklan calon konsumen (a) diberi informasi, (b) dibujuk, (c) diingatkan, dan (d) dikuatkan untuk membentuk ingatan dan asosiasi terhadap suatu barang atau jasa. Iklan secara sistematis menuntun calon konsumen mempercayai bahwa barang atau jasa yang ditawarkan baik. Dengan perkembangan teknologi, iklan bisa tampil dengan aneka rupa. Dengan visualisasi dan estetika desain yang semakin baik, iklan menjadi semakin atraktif dan ‘eye-catching’. Selain itu, pemaparan gagasan iklan pun semakin berani dan terbuka, meskipun kadang terkesan vulgar, eksploitatif, dan tidak etis. Bahasa iklan cenderung superlatif dan hiperbol. Ada dua kemungkinan. Pertama pembeli terlalu terpesona oleh tampilan dan isi iklan sehingga kehilangan ketelitian dan kecermatannya dalam mengambil keputusan. Kedua, bisa jadi si penjual (atau si pengiklan) sengaja memoles iklan secara menipulatif dengan melebih-lebihkan manfaatnya dan menutupi kekurangannya (prima facie).
Perspektif etika menyebutkan bahwa manipulasi dalam iklan bisa terjadi dalam dua bentuk. Pertama adalah apa yang disebut ‘subliminal advertising’ yang mana konsumen secara bawah sadar dipengaruhi oleh iklan-iklan yang disajikan begitu cepat dan ringkas baik melalui media audio maupun visual. Cara kedua adalah iklan yang ditujukan pada anak. Iklan ini dianggap manipulatif karena anak belum bisa mengambil keputusan dengan bebas dan sangat peka terhadap pengaruh luar.
Menilai apakah suatu iklan adalah etis atau tidak bukanlah hal yang mudah karena sifat etika yang sangat kualitatif. Namun, secara garis besar, etis tidaknya suatu iklan bisa dinilai dari empat hal, yaitu (a) maksud si pengiklan; (b) isi iklan; (c) keadaan publik yang dituju; dan (d) kelaziman dalam iklan. Ada kecenderungan pengiklan memiliki maksud yang tidak jujur. Kualitas barang yang dijual belum tentu sebagus yang diiklankan. Ditinjau dari isinya, iklan yang menawarkan ‘sesuatu yang buruk’ adalah iklan yang tidak etis, meskipun kadang pemerintah sendiri bersikap ambivalen seperti dalam iklan minuman keras (yang benar-benar dilarang) dan rokok (yang boleh diiklankan). Iklan yang baik juga harus memperhatikan konsumen yang menjadi tujuan atau sasaran iklan. Iklan yang memamerkan konsumtivisme ditengah masyarakat yang tengah dilanda krisis adalah iklan yang tidak etis. Iklan yang memanipulasi keinginan anak untuk membeli sesuatu adalah tidak etis karena anak belum memilih dengan bebas. Tak kalah pentingnya, etika iklan juga bisa dinilai dari kelaziman dalam tradisi beriklan. Biasanya asosiasi periklananan juga menetapkan standar etika dalam beriklan bagi para anggotanya.
Sepertinya, telah terjadi pergeseran (atau pelanggaran) nilai-nilai ketimuran yang sangat adiluhung, diganti dengan budaya ‘snobbish’ (pamer) dan konsumtif. Iklan yang memamerkan perilaku ‘gila belanja’ yang divisualisasikan secara vulgar telah nyata-nyata mendidik orang menjadi konsumtif dan menumpulkan empati pada saudara-saudara kita yang untuk membeli makan saja harus berhitung cermat, apalagi ‘shopping’. Apa yang salah dengan iklan yang merangsang orang ‘menikmati hidup’ dengan berbelanja sedikit lebih banyak di hari raya, di akhir tahun, atau di saat-saat istimewa seperti hari ‘valentine’, misalnya? Tidak ada yang salah, apabila tolok ukurnya adalah hukum. Tapi dari kacamata etika, penonjolan kemewahan ditengah orang-orang yang mayoritas hidup miskin adalah keterlaluan. Masih adakah empati kita saat menyuguhkan arogansi kemewahan dihadapan kaum miskin?
Yogyakarta, 13 Mei 2009
Supriyono