Ilustrasi
Ratrimo kesal dengan pengembang perumahan PT
Rasida Dadi Graha yang dianggapnya telah menipunya. Rumah yang dibelinya tidak
seperti yang dijanjikan dalam brosur. Rumah yang baru ditempatinya tiga bulan
sudah mulai rusak. Gentengnya bocor, tembok retak dan berair. Panel-panel pintu
dan jendela melengkung, tak bisa ditutup. Boro-boro ada kolam renang seperti
yang dipromosikan dulu. Yang ada cuma kolam ikan alias empang. Mana bangunan rumahnya belum ber-IMB lagi.
Pimpinan perusahaan, Rakaruan, SH berkilah bahwa
kondisi bangunan yang dijual sudah sesuai dengan harganya. Perusahaan mengakui
harus ’pandai-pandai’ mengatur penggunaan bahan dan membangun konstruksi agar
bisa menjual lebih murah daripada pesaingnya. Mengenai IMB, perusahaan mengaku
sudah mengajukan semua persyaratan kepada dinas
terkait dan mestinya sudah diproses. Namun, saat diklarifiksi, petugas
di dinas dimaksud mengaku ada beberapa syarat yang belum dipenuhi oleh perusahaan.
Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah perselisihan atau
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat atau pertikaian. Usaha adalah
kegiatan di bidang perdagangan atau industri. Sengketa usaha adalah
perselisihan atau perbedaan pendapat dalam kegiatan perdagangan atau industri.
Perselisihan ini bisa terjadi karena adanya disharmoni antara dua pihak atau
lebih terhadap suatu obyek kepentingan. Kemunculannya sangat dipengaruhi oleh hubungan
yang asimetris antara (a) pelaku usaha dengan konsumen atau karyawan atau anggota
masyarakat; (b) pelaku usaha dengan pelaku usaha lain (pemasok, agen,
distributor, pesaing); dan (c) pelaku usaha dengan pemerintah.
1.
Pelaku Usaha dengan Konsumen atau Karyawan atau Masyarakat
Salah satu
faktor yang membentuk hubungan yang asimetris antara pelaku usaha dengan
konsumen adalah karena adanya asimetri informasi dimana pelaku usaha menguasai
informasi produk yang dijualnya (sehingga bisa menonjolkan kelebihan dan
menutupi kelemahannya) di satu sisi, dan dimana konsumen tidak memiliki
informasi yang cukup tentang kualitas produk yang akan dibelinya (terutama
jasa) sehingga berpotensi merugikan konsumen. Kerugian sering muncul karena produk yang dibeli tidak bisa diterima
sesuai waktu yang dijanjikan atau diharapkan (tidak tepat waktu), kuantitas atau volumenya tidak sesuai (tidak
tepat jumlah), dan kualitasnya buruk
(tidak tepat mutu).
Secara
substantif, Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah
berusaha melindungi kepentingan konsumen
agar terhindar dari (i) produk yang
buruk; (ii) praktik bisnis yang curang; dan (iii) iklan yang menyesatkan.
Meskipun
demikian, praktik penyimpangan masih saja terus terjadi dengan modus yang
samar-samar atau bahkan nyata-nyata melanggar
apa yang sudah ditetapkan atau diatur dalam undang-undang tersebut.
Pembelokan aturan atau undang-undang (bending the law) banyak dilakukan dengan
membelokkan tafsir pasal-pasal dalam undang-undang sesuai dengan
kepentingannya. Bertens (2000) mengatakan bahwa salah satu kelemahan hukum adalah
bahwa hukum selalu memiliki multi tafsir dan selalu ada celah untuk
dimanfaatkan. Permasalahan lain yang juga mendasar adalah lemahnya penegakan
hukum, dimana pelanggaran (terutama yang berdampak sporadis, berskala kecil,
dan kasuistis) dibiarkan melenggang berlalu. Contoh yang paling mencolok adalah
larangan penggunaan perjanjian baku yang dibuat sepihak oleh
perusahaan-perusahaan dalam melaksanakan perikatan denga konsumen atau anggota
masyarakat. Undang-Undang ini jelas melarang penggunaan perjanjian baku yang
bersifat eksonerasi (pengalihan tanggungjawab), yang letak dan bentuknya sulit
dilihat atau tidak dapat dibaca dengan jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti (pasal 18 ayat 1 dan 2), tapi tetap saja digunakan oleh bank-bank
dan lembaga pembiayaan.
2. Pelaku
Usaha dengan Pelaku Usaha
Hubungan yang tidak sehat
antara pelaku usaha satu dengan lainnya diantaranya terwujud dengan
persaingan yang tidak sehat melalui
monopoli, mendiskreditkan pesaing, menggunakan pekerja anak untuk menekan biaya,
dan sebagainya. Beberapa model persaingan tidak sehat diantaranya adalah dengan
praktik ’dumping’ atau banting harga sampai tingkat yang sangat rendah yang
tidak bisa diikuti oleh pesaing. Ketika akhirnya pesaing bangkrut atau
menyerah, maka pelaku usaha yang nakal ini menjadi pemain tunggal. Modus
lainnya adalah dengan membuat iklan komparatif yang vulgar, yang secara sengaja (meskipun terselubung)
mencitrakan bahwa produknya lebih baik, lebih sehat, lebih aman daripada produk
pesaing. Mempekerjakan anak juga
merupakan tindakan tidak etis karena dengan mempekerjakan anak untuk tujuan
biaya tenaga kerja murah, perusahaan pesaing pun terdorong untuk melakukan hal
yang sama.
3. Pelaku Usaha dengan Pemerintah
Tidak bisa dipungkiri bahwa
pemerintah daerah pun berperan pada karut marutnya permasalahan yang dialami.
Faktor yang paling dominan adalah adanya hubungan yang kolutif antara
penyelenggara atau birokrasi pelayanan publik dan pelaku usaha. Tujuannya tak
lain adalah memuluskan bisnis pelaku usaha yang cenderung bermasalah. Maka,
sebagai contoh, proyek perumahan yang secara teknis, administratif, maupun
yuridis bermasalah, bisa tetap dibangun dan dijual kepada masyarakat dengan
risiko kerugian yang ditanggung konsumen. Atau sebaliknya, meski semua persyaratan
teknis maupu administratif sudah terpenuhi, pejabat pemerintah masih saja
mencari-carai peluang untuk ’memeras’ pelaku usaha, yang pada gilirannya akan
’membebankan’ biaya tersebut pada konsumen.
Masalah juga timbul karena
peraturan yang dibuat pemerintah belum mengakomodasi perkembangan aspek-aspek
bisnis. Sejumlah peraturan sering kalah cepat dengan dinamika perkembangan
dunia usaha (misalnya undang-undang atau peraturan tentang dampak lingkungan),
sehingga kepentingan konsumen terhadap risiko pelanggaran oleh dunia usaha yang
belum bisa sepenuhnya ditegakkan. Berpedoman pada aturan yang sudah berlaku,
pelaku usaha mengikuti dan memenuhi semua persyaratan perijinan. Tapi tiba-tiba
peraturan baru muncul, yang menyebabkan semua persyaratan yang sudah dipenuhi
dianggap masih kurang atau bahkan tidak berlaku lagi. Sulit untuk tidak menduga bahwa perubahan
kebijakan atau peraturan akan memunculkan para ’birokrat petualang’ mengeruk
keuntungan dari ’jasa pelayanan publik’ mereka. Tragis ya?
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM
https://bisnisberetika.blogspot.com
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM
https://bisnisberetika.blogspot.com