Prinsip
ekonomi menegaskan bahwa bisnis ‘yang baik’ adalah bisnis yang memberikan
banyak untung. Karena semata-mata mengejar untung (profiteering), perusahaan seringkali bertindak tidak etis.
Agar biaya produksi murah, ada perusahaan yang menggunakan tenaga kerja
anak-anak, memberlakukan jam kerja panjang dan gaji rendah, atau sistem kerja
kontrak untuk menghindari tunjangan dan pesangon. Demikian pula, untuk
meningkatkan penjualan, sejumlah perusahaan menerapkan cara-cara promosi yang tidak
jujur. Ada toko yang menggunakan strategi ‘bait
and switch’ yaitu merangsang calon pembeli dengan produk murah, yang
sebenarnya tidak tersedia, dan mendorong
calon konsumen membeli produk lain dengan harga lebih tinggi. Sejumlah ‘content provider’ telepon seluler
menjebak konsumen dengan sistem sedot pulsa otomatis, yang merampas pulsa
konsumen tanpa bisa menghentikannya.
Sebenarnya
perilaku tidak etis juga sangat dekat dengan lingkungan kita. Kita sering
‘dipaksa’ membeli permen sebagai ganti uang kembalian saat kita berbelanja di
toko. Saat kita membeli bensin, petugas SPBU seringkali ‘merampok’ selisih
harga pembelian. Dengan alasan pembulatan, sejumlah rumah sakit memaksa kita
‘mengikhlaskan’ membayar sekian ratus rupiah lebih tinggi dari tagihan
semestinya. Rupanya, perilaku koruptif
sudah menjangkiti hampir semua bidang kehidupan sosial ekonomi kita. Semuanya
dilandasi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya!
Menurut
Bertens (2000), bisnis yang tidak melanggar hukum, belum tentu tidak melanggar
moralitas. Etika diperlukan untuk melengkapi hukum karena lima alasan: (a) hokum tidak mengatur segala sesuatu, (b)
hukum sering kalah cepat dari perkembangan bisnis; (c) hukum selalu memiliki
celah yang bisa disalahgunakan; (d) hukum sering tidak ditegakkan; dan (e) ketentuan hukum seringkali memiliki
multi-tafsir. Buku Pedoman Prinsip dan Penilaian Bisnis Beretika Berkelanjutan
LOS DIY (2007) menyebutkan bahwa ketaatan pada hukum atau peraturan hanyalah
salah satu dari 8 indikator etika. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang taat
pada peraturan atau hukum, transparan, akuntabel, bertanggungjawab, wajar,
jujur, berempati, dan independen.
Indikator ketaatan pada hukum dan aturan
lebih mudah diukur daripada ketujuh indikator lain. Masalahnya,
bagaimana kita bisa mengatakan suatu perusahaan telah bersikap jujur, wajar,
dan bertanggungjawab?
Oleh
karena itu, untuk menilai apakah suatu bisnis itu etis atau tidak, Bertens
(2000) mengemukakan tiga tolok ukur
etika bisnis: (a) hati nurani; (b) empati; dan (c) audit sosial. Bisnis yang
baik selalu didasarkan pada hati nurani (yang baik). Hati nurani menuntun kita
memilih yang baik, dan menghindari yang buruk. Empati menuntun kita untuk
memperlakukan orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan (empati). Ini sejalan dengan pepatah bijak, “jangan
mencubit orang lain bila kita tidak ingin dicubit”. Audit sosial, atau
penilaian oleh masyarakat, mensyaratkan bahwa suatu bisnis disebut baik bila
menurut pendapat umum adalah baik. Masihkah kita punya hati nurani dan empati
dan bisakah audit sosial berperan dalam pencegahan perilaku tidak beretika?
Mari kita tegakkan bersama!
Supriyono