Keadilan restoratif pada dasarnya bertujuan untuk memulihkan hubungan social, dengan membangun atau membangun kembali kesetaraan hubungan. Artinya, hubungan dimana hak masing-masing orang untuk mendapatkan kesetaraan martabat, perhatian, dan kehormatan terpenuhi. Namun, hubungan harmonis di masyarakat kadang diciderai oleh perbuatan jahat atau tidak baik oleh seorang anggota terhadap seorang atau sejumlah besar anggota lainnya. Langkah seperti apa yang diperlukan untuk memulihkan hubungan sangat tergantung pada konteksnya dan diukur berdasar standar pemulihan ini. Mediasi adalah salah atu bentuk upaya memperbaiki hubungan para pihak melalui penyelesaian yang adil dan bermartabat. Mediasi dengan begitu terkait erat dengan prinsip keadilan restoratif. Karena terkait dengan kesetaraan social, keadilan restoratif dengan sendirinya menuntut bahwa setiap orang harus memperhatikan bentuk hubungan antara individu, kelompok, dan masyarakat. Maka, agar hubungan terpulihkan, keadilan restoratif harus mengenali kesalahan yang sesungguhnya dan konteks serta penyebab yang terkait.
Herman Bianchi (1994) menyatakan bahwa memulihkan hubungan tidak selalu berarti memulihkan hubungan pribadi dan intim tetapi hubungan social yang setara. Sebagai contoh, proses restoratif yang berhubungan dengan kekerasan pasangan tidak mencakup rekonstruksi hubungan intim antara individu-individu terkait tetapi mencakup ko-eksistensi mereka dalam suasana yang aman dan saling menghormati di masyarakat yang sama.
Keadilan dalam Sejarah
Menurut Daniel van Ness (1997), para ilmuwan, khususnya dari Barat, sangat terikat pada model punitif (menghukum), yang menjadi tulang punggung sistem keadilan kita saat ini. Mereka cenderung mengabaikan model-model lain.
Di masa lalu di dunia barat dikenal istilah “Community justice” yang mengakui bahwa telah terjadi kerugian terhadap orang, dan bahwa orang yang terlibat haruslah menjadi bagian penting dalam penyelesaian masalah, dan bahwa perbaikan terhadap kerugian itu sangatlah penting. Community justice sangat menjunjung tinggi terpeliharanya hubungan dan rekonsiliasi.
Di kemudian hari, pada abad kesebelas dan keduabelas, pendekatan ini berubah menjadi keadilan restoratif.
Di masyarakat Afrika sebelum kolonialisme, masyarakatnya mengenal metode ‘ubuntu’ dimana mereka …”tidak melulu bertujuan menghukum pelaku kejahatan, sebaliknya mereka berupaya memulihkan akibat-akibat yang timbul kepada para korban. Sanksi-sanksi yang diberikan bersifat mengganti rugi dan bukan menghukum, yang dimasudkan untuk memulihkan para korban pada posisi semula. Salah satu fungsi utama hukum pra-kolonial, sebagaimana yang dikatakan oleh Mqeke adalah, “pemulihan keseimbangan social yang terganggu dalam masyarakat.” Pendapat ini didukung oleh pepatah ’seseorang adalah satu orang melalui banyak orang’ atau dengan bahasa sederhana artinya “Saya begini karena engkau begitu” atau “kemanusiaan saya terkait dengan kemanusiaan anda”.
Cara terbaik untuk merespon ‘kejahatan’ atau pelanggaran bukanlah dengan menghukum pelaku seorang diri, melainkan dengan mengajar dan menyembuhkan semua pihak yang terlibat, dengan melihat pada masa lalu untuk memahami bagaiana segala sesuatu terjadi, dan mengamati masa depan untuk mendesain ukuran-ukuran yang menunjukkan kesempatan terbesar untuk membuat semua pihak yang terkait lebih sehat.
Konsepsi ini sering disebut ‘sacred justice’. Diane LeResche (1999) menyatakan, “Sacred justice’ adalah cara untuk menunjukkan ketidaksepakatan dan bertujuan membantu memperbaiki hubungan dan memberikan solusi. Keadilan ini berusaha menemukan penyebab ketidaksepakatan….. sacred justice ditemukan ketika pentingnya memulihkan pemahaman dan keseimbangan hubungan sangat dihargai”.
Namun, restoratif justics sebagai suatu ‘keadilan‘ tidak selalu berhubungan dengan ‘kesalahan’. Maka, walau cakupan restoratif justice lebih luas dari cakupan kesalahan yang didefinisikan sebagai kesalahan di suatu tempat dan waktu, restoratif justice tidak selalu bisa menjawab masalah resolusi konfilk manusia. Sebagai contoh, dalam konteks keluarga, dimana para pihak berusaha menempuh mediasi, setelah berakhirnya pernikahan, melalui interpretasi perjanjian pernikahan, dan tak satupun pihak mengungkit kesalahan-kesalahan satu sama lain, maka ini bukan tugasnya restoratif justice. Di sisi lain, ketika tujuannya adalah mengatasi kekerasan rumah tangga di masa lalu, proses restoratif sangat diperlukan. Dalam lingkungan komersial, ada banyak ketidaksetujuan antar agen tentang langkah yang akan diambil nanti dalam suatu industry atau perusahaan yang bisa juga disebut arbitrasi atau mediasi sebagai sarana resolusi konflik.
Keadilan adalah suatu respon terhadap suatu kekuatan moral yang sangat kuat bahwa ‘sesuatu harus dilakukan’, bahwa sesuatu (seseorang) telah mengganggu keadaan dari yang semestinya dan sesuatu harus dilakukan untuk memperbaiki yang salah, membuat segala sesuatu menjadi benar. Sentimen ini sering diekspresikan sebagai sesuatu perintah: “keadilan harus dilakukan.” Sistem keadilan kita saat ini membuat sumsi tentang sesuatu seperti apa yang harus dilakukan. Keadilaln restoratif memaksa kita melihat kembali pertanyaan ini dan menanyakan secara pasti apa yang semestinya kita lakukan sebagai respon terhadap tindakan yang salah?
Menurut Tony Marshall (1999), keadilan restoratif adalah sebuah proses dimana semua pihak yang terkait dengan suatu pelanggaran tertentu bertemu untuk secara bersama-sama membicarakan cara menindaklanjuti pelanggaran dan implikasinya di masa yang akan datang.
Restitusi bisa memenuhi sejumlah tujuan hukum pidana. Pertama, restitusi bisa bersifat retributif atau punitif dalam arti konvensional – menjalani kerja paksa di penjara, atau pengabdian masyarakat untuk ‘membayar kembali” masyarakat atas kejahatan yang telah diperbuat. Kedua, restitusi bisa dipahami sebagai suatu pencegah, untuk memastikan bahwa “kejahatan tak boleh terjadi”. Restitusi tidak berbeda dengan menahan perahu dan mobil yang telah dibeli dari uang kejahatan, atau gagasan bahwa penjahat tidak boleh memetik keuntungann dari menulis bestsellers tentang eksploitasi kejahatan mereka. Juga bukan dalam konteks pidana ketika meminta undang-undang kebangkrutan direformasi sehingga perusahaan yang bangkrut tidak bebas begitu saja, dengan diminta membangun komitmen tertentu di masa yang akan datang untuk mengembalikan harta benda atau uang kreditur yang telah dipaksa untuk menerima penyelesaian yang diajukan. Ketiga, restitusi bisa dipandang sebagai rehabilitatif si pelanggar sebagai individu, sebagai wujud pertanggungjawaban. Namun, tak satupun dari pengertian-pengertian itu yang memungkinkan restitusi bisa memenuhi tuntutan keadilan yang secara alamiah dipahami sebagai restorasi.
Restitusi sebagai suatu konsep common law merujuk pada gagasan bahwa manfaat yang diambil atau dinikmati dengan cara salah harus dikembalikan. Keadilan sebagai restitusi mengatakan bahwa pemenuhan keadilan mensyaratkan pelaku kesalahan membayar kembali atau mengembalikan apa yang telah diambilnya dari korban kesalahan.
Kekuatan restitusi adalah bahwa restitusi lebih terfokus pada orang yang menderita akibat suatu kesalahan daripada retribusinya. Walau fokusnya adalah pengembalian apa yang telah hilang kepada si korban, restitusi menempatkan korban yang sesungguhnya sebagai hal paling penting dalam menegakkan keadilan. Menurut Van Ness, restitusi berakar pada sistem keadilan yang memandang kejahatan sebagai suatu cidera lebih kepada korbannya daripada kepada pepmerintah. Keadilan restoratif ini memiliki kesamaan fokus dengan ciderra aktual yang dilakukan oleh pelaku kesalahan dan pada orang yang menderita cidera ini. Dengan kata lain, keadilan restoratif dan restitusi sama-sama memfokuskan pada akibat tindakan dan bukan pada sifat tindakan itu sendiri. Namun, keadilan restoratif tidak membatasi dirinya pada korban.
Keadilan retributif melihat ke belakang, terutama terfokus pada apa yang telah terjadi, dan bukan apa yang harus dilakukan untuk menanganinya. Kalau keadilan retributif mengharuskan adanya hukuman untuk memulihkan keadilan sosial, keadilan restoratif mempermasalahkan apa yang diperlukan.
Keadilan restoratif melihat ke masa lalu, tapi dengan pandangan untuk mentransformasikan hubungan untuk masa depan yang lebih baik. Fokus dalam keadilan restoratif adalah memulihkan hubungan menuju suatu kemartabatan, kehormatan, dan kepedulian, dan bukan hanya sekedar menghukum kesalahan. Dalam arti ini, meski tidak mengarah ke ‘pencegahan sebagai kontrol sosial tentu juga mengandung gagasan tentang pencegahan kesalahan di masa yang akan datang dimana para pihak akan tetap dalam relasi keadilan sosial. Akhirnya, karena keadilan retributif sangat terfokus pada hukuman sebagai respon terhadap suatu tindakan kesalahan, maka keadilan itu terfokus pada proses. Keadilan restoratif, di sisi lain, lebih berhubungan dengan hasil dari proses, daripada proses itu sendiri. Keadilan ini sifatnya fleksibel dalam mensikapi apa yang harus dilakukan sebagai respon terhadap suatu kesalahan, apa pun yang dilakukan harus mencapai tujuan berupa restorasi.
Yogyakarta 24 Januari 2014