Sebenarnya
korupsi bukan mutlak perilaku pejabat negara seperti para anggota DPR
yang bermain-main dengan anggaran, yang
selalu berharap dan ‘bersyukur’ menerima gratifikasi, yang selalu ‘khusyu’
berhitung rente proyek yang bakal diterima. Meski dengan nilai yang relatif kecil secara individual, tetapi
karena terjadi secara masif, maka nilai
kumulatifnya pun luar biasa besar.
Pungutan liar berupa ‘jasa parkir’ tak terhitung besarnya. Tanpa alas
hak, banyak orang-orang liar memungut
ongkos jasa parkir. Bahkan di
kantor-kantor pemerintah yang mestinya gratis. Aneh kan? Ini merampok namanya. Apakah mereka punya kewenangan?
Tentu tidak. Jangan tanya akuntabilitas pengelolaan uang parkir. Tak bakalan
disetor ke pemerintah agar bisa kembali dimanfaatkan untuk kemanfaatan masyarakat (kalau tidak keburu dkorupsi, tentu saja).
Perhatikan juga saat mengisi BBM di stasiun pengisian bahan bakar. Bukan
rahasia lagi bahwa pelayan cenderung
‘membulatkan’ tagihan yang harus dibayar konsumen. Jangan bilang: “Ah
cuma sedikit saja.” Jumlahnya tentu
fantastis bila dalam sehari dia mendapat ‘kelebihan ‘ dari seribu konsumen.
Korupsi tidak
hanya berupa uang. Di tingkat
pejabat, para anggota dewan biasa
korupsi waktu. Datang telat pulang cepat. Pun mereka hanya datang pada waktu sidang,
karena ada tunjangannya. Nah, mereka
gemar disebut 3D: Datang, Duduk, dan
dapat Duit. Pejabat eksekutif juga dapat
fee dari negosiasi kebijakan, transaksi ‘dagang
sapi’, atau ‘musyawarah politik’
tertentu. Di akar rumput, pedagang lesehan menggusur hak pejalan kaki
dengan merampas trotoar. Pedagang
asongan malah menggelar dagangan di kursi tunggu kantor-kantor publik, termasuk
puskesmas dan rumah sakit. Akibatnya, para pasien (yang sudah pasti menanggung sakit) terpaksa berdiri saat menunggu
giliran diperiksa. Tak kalah seremnya adalah kebiasaan pelajar
dan mahasiswa menyontek saat ujian. Toh ketika sudah berbuah nilai bagus tak
ada orang yang mempermasalahkan? Demikian pikiran mereka. Dan memang, belum
pernah ada anak sekolah dikeluarkan atau
diajukan ke meja hijau ‘hanya’ karena menyontek.
Terbayang
bagaimana jadinya bila
orang-orang di akar rumput ini
berkesempatan memimpin negeri ini
suatu saat nanti. Bakat korupsi
sudah mereka pupuk sejak mereka belum punya kesempatan besar. Jangan-jangan mereka tidak beda dengan para
pejabat petahana yang kini berkuasa. Ada pendapat ‘nakal’, jangan-jangan kita semua sebenarnya adalah
‘pencoleng’ atau ‘penggarong’. Ketika kita meneriaki ‘maling’ pada para
koruptor, jangan-jangan kita bukan sedang mengedepankan nilai moral dan
integritas. Siapa tahu sebenarnya yang
kita maksud adalah ‘gantian korupsinya dong!’. Banyak contoh, pegiat LSM yang
dulunya vokal melawan korupsi akhirnya duduk di meja birokrasi menyantap kue
korupsi. Mahasiswa yang dulu ‘garang’
saat demonstrasi pun akhirnya terlena
oleh ‘candu korupsi’. Tutup mata,
tutup telinga, dan tutup mulut. Benarkah?
Supriyono