Selasa, 18 Februari 2014

BISNIS DAN MORALITAS

Perspektif Fragmatis
Hakikatnya, orang menjalankan usaha komersial untuk menghasilkan keuntungan , sebagai upaya  meningkatkan kesejahteraan pemilik dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.  Keuntungan merupakan kata kunci dalam kegiatan bisnis, seperti yang dikatakan oleh Fry dkk (2002) bahwa sebagai sebuah organisasi yang berusaha memenuhi permintaan barang dan jasa yang dibutuhkan pelanggan,  bisnis selalu mencari keuntungan. Sejatinya, keuntungan  adalah ‘darah’  bagi setiap kegiatan usaha perdagangan barang maupun jasa. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan usaha itu sangat bergantung pada keuntungan  untuk kelangsungan hidupnya. Demikian pula,  perkembangan usaha pun sebagian ditentukan oleh besar-kecilnya laba yang ditahan dan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan meningkatkan skala (scale-up) sehingga sebagai ‘organisme’, perusahaan pun perlu tumbuh agar bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan.

Perspektif Etis 
Namun, bisnis juga perlu mengadopsi nilai- nilai moral agar bisnis dijalankan secara etis. Bisnis yang etis memperhatikan kepentingan holistik semua pemangku kepentingan, dalam pengertian hubungan bisnis harus bersih, jujur, saling menguntungkan, dan bermanfaat. Mencari keuntungan tidak boleh menghalalkan segala cara.  Pedoman moral menjadi penting karena menurut Robert Heilbroner, seorang ekonom Amerika, kalau pencarian  keuntungan menjadI motif utama  bagi  bisnis, dengan sendirinya bisnis mengejar kepentingan  diri yang berlanjut pada tumbuh suburnnya egoisme. Pengusaha yang egois selalu melihat kelangsungan bisnisnya  untuk kepentingannya sendiri dan menutup mata   kepentingan orang lain. Kalau perlu dia mengorbankan kepentingan orang lain untuk kepentingannya sendiri.  Bisnis yang berhasil, masih menurut Fry dkk (2002) adalah bisnis unggul sepanjang waktu, bukan hanya bisnis yang berjaya  sesaat  karena muslihat tertentu. Bisnis yang berhasil juga tidak mencari keuntungan finiansial besar dengan mengorbankan  moralitas, komitmen kerja yang rendah, produk-produk yang buruk,  atau perilaku tidak etis lain.
Dalam literatur Yunani kuno,   Aristoteles (384-322 SM) bahkan menolak perdagangan dan penumpukan kekayaan karena kegiatan menambah kekayaan adalah tindakan tidak  etis.  Dalam kegiatan krematistik yang  berorientasi penumpukan kekayaan, dengan uang sebagai alat penyimpan  kekayaan,  ada kecenderungan  penguasaan kekayaan  secara tidak  merata dan sangat tidak terbatas. Perilaku bisnis yang tidak etis juga ditimbulkan oleh sifat cinta uang (phylargia).  Dengan prinsip deontologi, ajaran agama  sudah  menetapkan batas yang diwajibkan untuk dilakukan, dan batas yang dilarang. Immanuel Kant (1724-1804), seorang  filsuf Jerman ternama, menyebut bahwa sebuah tindakan disebut baik bila dilakukan berdasar  prinsip  ‘imperatif kategoris’,  yaitu kepatuhan  tanpa syarat pada norma yang sudah ditetapkan.