Perspektif Fragmatis
Hakikatnya, orang menjalankan
usaha komersial untuk menghasilkan keuntungan , sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pemilik dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Keuntungan merupakan kata kunci dalam kegiatan
bisnis, seperti yang dikatakan oleh Fry dkk (2002) bahwa sebagai sebuah
organisasi yang berusaha memenuhi permintaan barang dan jasa yang dibutuhkan
pelanggan, bisnis selalu mencari
keuntungan. Sejatinya, keuntungan adalah
‘darah’ bagi setiap kegiatan usaha
perdagangan barang maupun jasa. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan usaha
itu sangat bergantung pada keuntungan untuk kelangsungan hidupnya. Demikian
pula, perkembangan usaha pun sebagian
ditentukan oleh besar-kecilnya laba yang ditahan dan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan
meningkatkan skala (scale-up)
sehingga sebagai ‘organisme’, perusahaan pun perlu tumbuh agar bisa beradaptasi
dengan perubahan lingkungan.
Perspektif Etis
Namun, bisnis juga perlu
mengadopsi nilai- nilai moral agar bisnis dijalankan secara etis. Bisnis yang
etis memperhatikan kepentingan holistik semua pemangku kepentingan, dalam
pengertian hubungan bisnis harus bersih, jujur, saling menguntungkan, dan
bermanfaat. Mencari keuntungan tidak boleh menghalalkan segala cara. Pedoman moral menjadi penting karena menurut Robert
Heilbroner, seorang ekonom Amerika, kalau pencarian keuntungan menjadI motif utama bagi
bisnis, dengan sendirinya bisnis mengejar kepentingan diri yang berlanjut pada tumbuh suburnnya
egoisme. Pengusaha yang egois selalu melihat kelangsungan bisnisnya untuk kepentingannya sendiri dan menutup
mata kepentingan orang lain. Kalau
perlu dia mengorbankan kepentingan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Bisnis yang berhasil, masih menurut Fry dkk
(2002) adalah bisnis unggul sepanjang waktu, bukan hanya bisnis yang
berjaya sesaat karena muslihat tertentu. Bisnis yang berhasil
juga tidak mencari keuntungan finiansial besar dengan mengorbankan moralitas, komitmen kerja yang rendah,
produk-produk yang buruk, atau perilaku
tidak etis lain.
Dalam literatur Yunani kuno, Aristoteles (384-322 SM) bahkan menolak
perdagangan dan penumpukan kekayaan karena kegiatan menambah kekayaan adalah
tindakan tidak etis. Dalam kegiatan krematistik yang berorientasi penumpukan kekayaan, dengan uang
sebagai alat penyimpan kekayaan, ada kecenderungan penguasaan kekayaan secara tidak
merata dan sangat tidak terbatas. Perilaku bisnis yang tidak etis juga
ditimbulkan oleh sifat cinta uang (phylargia).
Dengan prinsip deontologi, ajaran agama
sudah menetapkan batas yang
diwajibkan untuk dilakukan, dan batas yang dilarang. Immanuel Kant (1724-1804),
seorang filsuf Jerman ternama, menyebut
bahwa sebuah tindakan disebut baik bila dilakukan berdasar prinsip
‘imperatif kategoris’, yaitu
kepatuhan tanpa syarat pada norma yang
sudah ditetapkan.