Makna Denotatif
Diksi yang tepat akan bisa menyampaikan maksud dengan benar. Ketepatan
kata itu bisa diperoleh dengan kata-kata yang bermakna denotatif (kata yang
lugas). Kata-kata yang lugas juga bisa dimaknai sebagai kata yang monosemantik (bertafsir
tunggal). Sifat monosemantik ini bisa bersumber dari kebakuan corak bahasa
hukum tertentu.
Sebagai contoh, kata tuntutan
digunakan dalam ranah pidana, sedangkan kata gugatan digunakan dalam ranah
perdata. Begitu pula kata tersangka, terdakwa, dan terpidana yang digunakan
dalam ranah pidana. Untuk ranah perdata, kita menggunakan sebutan tergugat.
Bahasa-bahasa yang bertafsir
tunggal itu juga bisa berbentuk jargon. Dalam praktik kedokteran dikenal
istilah informed consent atau persetujuan pasien dan/atau keluarganya untuk diambil
tindakan medis tertentu oleh tenaga kesehatan. Dalam bidang keuangan dikenal
istilah aktuaria, agunan, sewa guna usaha, sewa beli, pembelian secara angsuran,
dan kredit. Namun, istilah atau jargon itu seringkali disalah mengerti atau
dicampur aduk seperti dalam contoh klausul berikut ini:
“NISSAN X-TRAIL Tahun Pabrikan 2004, Warna
Abu-Abu Metalik, Nomor Polisi N 378 XF, dengan status kepemilikan kredit/leasing
pada Lembaga Pembiayaan Keuangan PT. Astra Auto Finance nomor perjanjian
07.400.405.00.12092”;
Penerapan kata “kredit” atau
“leasing” tidak selaras dengan “Lembaga Pembiayaan Keuangan”. Pertama, kredit
selalu merujuk pada lembaga keuangan berbentuk bank, bukan lembaga pembiayaan.
Kedua, “leasing” adalah suatu bentuk penyediaan barang modal, baik berupa financial lease atau operating lease, biasanya berupa
mesin-mesin produksi, tapi tidak berupa kendaraan non-niaga.
Istilah agunan bermakna denotatif
sebagai “jaminan meminjam uang” sedangkan kata “jaminan” sendiri bisa bertafsir
luas. Istilah notaris, PPAT, dan advokat adalah contoh lain istilah-istilah
denotatif. Kerancuan lain yang sering terjadi adalah penggunaan kata “gadai”
untuk semua jenis transaksi meminjam uang dengan “agunan” tertentu seperti
BPKB. Dalam kenyataannya, kata “gadai” digunakan juga untuk jenis transaksi “sale and lease back” yang marak terjadi
dengan promosi masif. Anehnya, perusahaan yang menyediakan jasa gadai bukan
perusahaan pegadaian, tetapi perusahaan yang menamakan diri perusahaan
pembiayaan.
Dalam hukum positif dimana segala
sesuatunya diatur secara tertulis, kata-kata tertentu juga bisa mendapat
legitimasi tafsir tunggal karena diatur dan dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh, meski dalam khasanah linguistik kata perikatan, perjanjian,
persetujuan, atau kesepakatan adalah kata-kata yang bisa sinonim dan digunakan
untuk maksud yang sama, tetapi dalam khasanah hukum masing-masing kata itu
memiliki arti khusus sendiri-sendiri.
Secara kronologis, mula-mula
orang bersepakat dulu sebelum membuat perjanjian. Setelah para pihak membuat
perjanjian maka lahirlah suatu perikatan
yang memunculkan hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban itulah
yang kemudian dinamai prestasi, sedangkan pengingkarannya dinamai wanprestasi.
Menurut Pasal 1233 KUH Perdata,
perikatan lahir karena persetujuan maupun karena undang-undang sedangkan
perjanjian sengaja mengikatkan diri terhadap orang lain. Tersirat di Pasal 1233
KUH Perdata, perikatan lahir setelah persetujuan. Persetujuan bisa berbentuk
lisan, tertulis, atau diam-diam. Sementara itu tersirat di pasal 1313,
perjanjian memuat unsur sengaja dan proaktif mengikatkan diri yang syarat
sahnya diatur secara khusus di Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian bisa tertulis
atau tidak tertulis, tetapi tidak bisa secara diam-diam. Berbeda dengan
perikatan yang harus melibatkan paling tidak dua pihak, perjanjian bisa
dilakukan sepihak.
Bisa dikatakan bahwa perjanjian
dan persetujuan punya sifat yang sama, yaitu suatu hubungan yang belum
mengikat. Perjanjian juga bisa mengandung arti lebih luas dari persetujuan karena ada perjanjian bisa
meliputi urusan keperdataan, misalnya perjanjian internasional. Di sisi lain,
perikatan adalah suatu hubungan yang
sudah mengikat. Perikatan dan persetujuan secara eksklusif termasuk dalam ranah
hubungan perdata.
Dalam analisis praksis, persetujuan
adalah tindakan yang bisa sepihak tanpa melibatkan pihak lain. Persetujuan
diberikan oleh pasien atau keluarga pasien terhadap tindakan medis tertentu
oleh dokter (informed consent).
Sementara itu istilah perikatan (verbintenis)
juga digunakan dalam konteks hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam
bentuk in spanning verbintenis dan
bukan resultant verbintenis.
Perikatan antara dokter dan pasien tersebut tidak diucapkan atau ditulis oleh
para pihak, tetapi mengandung hak dan kewajiban, dan hanya tunduk pada
undang-undang yang mengaturnya. Perjanjian, di sisi lain, banyak dipakai dalam
konteks perdagangan atau bisnis seperti dalam perjanjian sewa-menyewa dan
perjanjian jual-beli.
Istilah perjanjian dan
persetujuan juga digunakan dalam klausul kesepakatan perdamaian mediasi seperti
yang berikut ini:
“Para Pihak berpendapat bahwa
permasalahan Perjanjian Reklame Billboard ini dinyatakan telah selesai melalui
persetujuan musyawarah mufakat damai, dan perdamaian ini mengakhiri semua
permasalahan dan mencegah timbulnya perkara, baik perdata maupun pidana serta
perdamaian ini tidak dapat dibantah atau dibatalkan dengan alasan apapun.”
Tampak dalam klausul tersebut,
bahwa istilah “perjanjian” dibedakan dengan istilah “persetujuan”. Dalam
klausul itu istilah perjanjian merujuk pada suatu “perjanjian tertulis”
sedangkan istilah persetujuan merujuk pada suatu “kesepakatan lisan”.
Setiap kata denotatif selalu
memiliki arti yang spesifik dan tunggal sehingga satu kata dengan kata lain
tidak serta merta bisa dipertukarkan dalam konteks yang berbeda. Maka, istilah “informed commitment”, “inspanning contract”, atau “leasing agreement” dianggap tidak lazim.
Demikian pula, kata sengketa (dispute) dan konflik (conflict) juga berbeda konteks. Konflik
terjadi antar kelompok orang atau gagasan yang saling berlawanan, sedangkan
sengketa timbul karena hak perdata. Dalam konflik, yang menjadi musuh
adalah subjek hukum yang lain, sedangkan dalam sengketa dua subjek hukum
bersengketa tentang satu objek hukum tertentu atau subjek hukum lainnya. Maka,
kata konflik tepat diterapkan dalam konteks kesepakatan mediasi perdamaian
tentang orang, sedang kata sengketa tepat digunakan dalam konteks kesepakatan
perdamaian mediasi tentang barang atau hal. Berikut ini contoh penerapan
istilah sengketa dalam klausul kesepakatan perdamaian mediasi:
“Bahwa Pihak Pertama dan Pihak
Kedua tidak akan saling menuntut secara perdata dan / atau pidana dan
menyatakan sengketa (gugatan ganti rugi) antara para pihak selesai setelah
penandatanganan Akta Perdamaian ini.”
Makna denotatif juga bisa muncul
dari penggunaan nomenklatur atau idiom
tertentu seperti Standar Pelayanan Minimal (SPM), Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AUPB), dan Prosedur Tetap (Protap). Dalam klausul berikut ini
terdapat pemakaian istilah yang tidak tepat:
“Bahwa seluruh tindakan medis
yang dilakukan Pihak Kedua telah sesuai dengan standar profesi medis, standar
operasional prosedur, dan prosedur tetap yang berlaku.”
Jargon “standar operasional
prosedur” secara sintaktik merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “standard operating procedure” yang dialihbahasakan
secara harafiah menjadi “prosedur operasi standar”. Padanan pragmatis untuk
istilah itu adalah “Prosedur Tetap” atau dikenal sebagai “Protap”.
Bahasa hukum mengenal
jargon-jargon yang khas, yang tidak pas diganti dengan istilah lain, atau
sebaliknya tidak pas bila digunakan di bidang ilmu lain. Sebagai contoh adalah
“perbuatan melawan hukum”, “prestasi”, “kontraprestasi”, dan “wanprestasi”.
Kata prestasi dalam konteks naskah hukum berbeda artinya dengan prestasi dalam
konteks skolastik atau akademik. Selain itu ada istilah “perdata” dan “pidana”.
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM
mediasi_konflik@yahoo.com