SALAH PAHAM BAHASA HUKUM
Tanpa kita sadari, kita
sering salah menggunakan dan memahami istilalah hukum. Namun, karena kesalahan
itu sudah berlangsung lama dan menjadi kebiasaan, kita tidak merasa aneh.
Bahkan meski salah kita tetap paham. Mungkin itulah yang disebut “salah paham”
yang maksudnya meski salah kita tetap paham. Beberapa contoh kesalahan
penggunaan istilah hukum adalah paten, gratifikasi, dan deponering.
Paten
Kita sering salah kaprah
memahami kata paten. Misalnya, ada orang yang berkata, “Saya sudah mematenkan merek saya di Kantor
Wilayah Kemenkumham, tapi kok belum selesai sertifikatnya?”. Ada juga yang
bertanya, “Saya seorang pengusaha dan ingin mematenkan merek dagang saya.
Caranya gimana ya?” Kata paten juga digunakan untuk menyebut “obat mujarab”.
Tak heran kita mendengar, “Supaya cepat sembuh, minum obat paten.”
Secara
semantik-etimologis, kata patent adalah terjemahan dari bahasa Inggris ‘patent’ yang diambil dari kata Latin ‘patere” yang artinya membuka diri agar bisa
diaudit oleh public.
Secara
normatif-positivistik, istilah paten didefinisikan di Pasal 1 UU No. 13 Tahun
2016 tentang Paten yaitu bahwa:
“Paten adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi
untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau
memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya”
Jadi yang bisa dipatenkan
adalah hasil penemuan di bidang teknologi, bukan merek dagang. Sepertinya saat
mengatakan “mematenkan merek” yang bersangkutan “mendaftarkan
merek”, dan “obat paten” maksudnya adalah obat
mujarab, bukan obat yang masih dalam perlindungan hak paten. Perlu diingat bahwa meski sama-sama merupakan
bagian dari kekayaan intelektual, merek dan paten itu berbeda sehingga pengaturannya pun berbeda.
Gratifikasi
Secara denotatif, kata
gratifikasi adalah kata yang “baik-baik saja”. Kamus Collins English Dictionary
mendefinisikan “gratification” sebagai “kepuasan yang didapat dari tercapainya
suatu keinginan,” atau “sesuatu yang memuaskan”. Memang bahasa Inggris memiliki
“gratuity” yang artinya “hadiah” atau “ganjaran”, tetapi masih dalam pengertian
baik dan wajar. Jadi, secara etimologi, kata gratifikasi tidak ada hubungannya
dengan “uang sogok” atau “uang suap”.
Namun, dalam perkembangannya,
kata “gratifikasi” telah menyandang makna konotatif sebagai “sesuatu yang tidak
semestinya, tidak elok, bahkan melanggar hukum pidana”. Menurut penjelasan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31/ 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya.
Definisi normatif
positivistik itulah yang kemudian memberi stigma pada kata “gratifikasi”
menjadi “uang tanda terimakasih yang tidak tulus karena memiliki pamrih.”
Deponering
Kata deponering berasal dari Bahasa Belanda ”deponeren” yang artinya “menyerahkan, melaporkan, mendaftarkan” yang lazim ditemukan
dalam hukum dagang, administrasi maupun perpajakan. Istilah deponering kemudian dimaknai "mengesampingkan" suatu kasus demi kepentingan umum. Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
menyatakan bahwa “Jaksa Agung mempunyai tugas dan
wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” yang dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
disebutkan:
“Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’
adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat. Mengesampingkan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, yang
hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat
dari badan-badan kekuasaan Negara yang memepunyai hubungan dengan masalah
tersebut”.
Dan juga diatur di Pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP yang berbunyi:
“Perkara tersebut dikesampingkan demi
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila
benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana”, dan terdapat dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP
berbunyi: “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak
termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum menjadi wewenang
Jaksa Agung”.
Berarti ada pergeseran
arti, dari “menyerahkan” menjadi “mengesampingkan”. Menurut Prof. Andi Hamzah, istilah yang tepat untuk
mengesampingkan adalah “seponering” yang berasal dari kata
kerja seponeren dan kata dasar sepot. Menurutnya,
di Belanda istilah yang dipakai adalah “seponeren” yang artinya adalah “menyampingkan” dan “tidak menuntut”.
Semantik hukum mensyaratkan ketepatan sebutan karena kesalahan ini bisa berakibat hukum. Suatu istilah hukum memiliki makna tertent dan terkadang membawa
akibat hukum tertentu misalnya error in persona atau ditolaknya suatu gugatan.
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM
email: mediasi_konflik@yahoo.com