ETIKA IKLAN
Iklan adalah
salah satu alat pemasaran yang penting. Dengan iklan perusahaan ingin menarik
perhatian calon konsumen tentang barang atau jasa yang ditawarkannya. Banyak
orang memutuskan membeli suatu barang atau jasa karena pengaruh iklan yang
sedemikian atraktif tampilan visualnya. Kecermatan menimbang dan rasionalitas
pemikiran seringkali ‘kalah wibawa’ dengan semangat hedonis yang ditawarkan
iklan. Tapi selalu saja banyak orang yang kemudian kecewa, karena spesifikasi
atau manfaat barang yang dibeli tidak seperti
yang ditawarkan.
Dalam bukunya
Marketing Management, Kotler (2003) menyebutkan dengan iklan calon konsumen (a)
diberi informasi, (b) dibujuk, (c) diingatkan, dan (d) dikuatkan untuk
membentuk ingatan dan asosiasi terhadap suatu barang atau jasa. Iklan secara sistematis menuntun calon konsumen mempercayai bahwa barang
atau jasa yang ditawarkan baik. Dengan perkembangan teknologi, iklan bisa tampil dengan aneka rupa. Dengan visualisasi
dan estetika desain yang semakin baik, iklan menjadi semakin atraktif dan
‘eye-catching’. Selain itu, pemaparan gagasan iklan pun semakin berani dan
terbuka, meskipun kadang terkesan vulgar, eksploitatif, dan tidak etis. Bahasa
iklan cenderung superlatif dan hiperbol. Ada dua kemungkinan. Pertama pembeli
terlalu terpesona oleh tampilan dan isi iklan sehingga kehilangan ketelitian
dan kecermatannya dalam mengambil keputusan. Kedua, bisa jadi si penjual (atau
si pengiklan) sengaja memoles iklan secara menipulatif dengan melebih-lebihkan
manfaatnya dan menutupi kekurangannya (prima facie).
Perspektif etika menyebutkan bahwa manipulasi
dalam iklan bisa terjadi dalam dua bentuk. Pertama adalah apa yang disebut ‘subliminal
advertising’ yang mana konsumen secara bawah sadar dipengaruhi oleh iklan-iklan
yang disajikan begitu cepat dan ringkas baik melalui media audio maupun visual.
Cara kedua adalah iklan yang ditujukan pada anak. Iklan ini dianggap
manipulatif karena anak belum bisa mengambil keputusan dengan bebas dan sangat
peka terhadap pengaruh luar.
Menilai apakah suatu iklan adalah etis atau
tidak bukanlah hal yang mudah karena sifat etika yang sangat kualitatif. Namun,
secara garis besar, etis tidaknya suatu iklan bisa dinilai dari empat hal, yaitu (a) maksud si pengiklan;
(b) isi iklan; (c) keadaan publik yang dituju; dan (d) kelaziman dalam iklan.
Ada kecenderungan pengiklan memiliki maksud yang tidak jujur. Kualitas barang
yang dijual belum tentu sebagus yang diiklankan. Ditinjau dari isinya, iklan
yang menawarkan ‘sesuatu yang buruk’
adalah iklan yang tidak etis, meskipun
kadang pemerintah sendiri bersikap ambivalen seperti dalam iklan minuman keras
(yang benar-benar dilarang) dan rokok (yang boleh diiklankan). Iklan yang baik
juga harus memperhatikan konsumen yang menjadi tujuan atau sasaran iklan. Iklan
yang memamerkan konsumtivisme ditengah masyarakat yang tengah dilanda krisis adalah
iklan yang tidak etis. Iklan yang memanipulasi keinginan anak untuk membeli
sesuatu adalah tidak etis karena anak belum memilih dengan bebas. Tak kalah
pentingnya, etika iklan juga bisa dinilai dari kelaziman dalam tradisi
beriklan. Biasanya asosiasi periklananan juga menetapkan standar etika dalam
beriklan bagi para anggotanya.
Sepertinya, telah terjadi pergeseran (atau
pelanggaran) nilai-nilai ketimuran yang sangat adiluhung, diganti dengan budaya
‘snobbish’ (pamer) dan konsumtif. Iklan yang memamerkan perilaku ‘gila belanja’
yang divisualisasikan secara vulgar telah nyata-nyata mendidik orang menjadi
konsumtif dan menumpulkan empati pada saudara-saudara kita yang untuk membeli
makan saja harus berhitung cermat, apalagi ‘shopping’. Apa yang salah dengan
iklan yang merangsang orang ‘menikmati hidup’ dengan berbelanja sedikit lebih
banyak di hari raya, di akhir tahun, atau di saat-saat istimewa seperti hari ‘valentine’,
misalnya? Tidak ada yang salah, apabila tolok ukurnya adalah hukum. Tapi dari
kacamata etika, penonjolan kemewahan ditengah orang-orang yang mayoritas hidup
miskin adalah keterlaluan. Masih adakah empati kita saat menyuguhkan arogansi
kemewahan dihadapan kaum miskin?
Yogyakarta,
22 Desember 2018
Supriyono Legal Drafter email supriyonocopywriter@gmail.com