PERJANJIAN YANG DILARANG
A.
PENDAHULUAN
Dalam hukum persaingan
usaha, peran pemerintah sangat penting dalam menatalaksana kegiatan usaha agar tercipta perekonomian mikro maupun
makro yang sehat. Persaingan yang sehat, sebagai salah satu faktor kunci
kesehatan perekonomian, tidak bisa hadir dengan sendirinya karena ada
kecenderungan para pelaku usaha melakukan kecurangan. Ini selaras dengan tiga
“dosa” pelaku usaha (caveat emptor) yang digagas oleh Ralp Nader, tokoh
konsumerisme. Menurutnya, tiga dosa bisnis adalah (a) produk yang buruk, (b)
pelaku usaha yang curang, dan (c) promosi yang tidak jujur. Tiga hal itu
menjadi ruh persaingan yang tidak sehat, sehingga harus dicegah. Tujuannya
adalah agar masyarakat atau konsumen tidak dirugikan.
Kehadiran pemerintah sangat penting sebagai ‘wasit’
bagi kiprah para pelaku usaha. Pemerintah berkewajiban menyediakan rambu-rambu
persaingan yang harus ditaati oleh para pelaku usaha selain ‘peta jalan’
perekonomian nasional sebagai koridor arah perkembangan ekonomi di Indonesia.
B.
PEMBAHASAN
UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjamin usaha dilakukan secara
bertanggungjawab melalui persaingan yang sehat.
Melalui kekuatan regulasinya, pemerintah membolehkan dan melarang
sejumlah kegiatan bisnis. Pengaturan ini sejalan dengan filosofi bisnis sebagai
suatu persaingan yang cenderung liar yang sudah ditengarai sejak jaman Yunani
Kuno dimana Plato bahkan menolak keberadaan bisnis sebagai suatu praktik yang
‘mendekati dosa’.
Pengalaman empiris juga
menunjukkan bahwa bisnis yang tidak dikendalikan pemerintah cenderung tidak sehat. Naluri saling serang
dan menjatuhkan adalah sesuatu yang lazim. Pengaturan oleh pemerintah ditempuh dengan
menerbitkan larangan pada praktik atau kegiatan tertentu. Kegiatan yang
dilarang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (a) Perjanjian yang dilarang; (b)
kegiatan yang dilarang; dan (c) posisi dominan yang dilarang.
I.
PERJANJIAN YANG DILARANG
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 tahun
1999, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa
pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Perjanjian meliputi unsur-unsur:
a. Adanya suatu perbuatan;
b. Pelaku usaha yang terikat perjanjian;
c. Perjanjian tertulis atau tidak tertulis;
d. Tanpa menyebutkank tujuan perjanjian.
Siapapun bebas membuat perjanjian sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum, norma kesusilaan, kepatutan, dan ketertiban umum di
masyarakat. Sebagai suatu bentuk perikatan, perjanjian berlaku sebagai undang-undang
bagi para pihak yang mengikatkan diri. Tapi, tidak semua orang boleh membuat
perjanjian. Yang dilarang membuat perjanjian adalah orang yang belum atau tidak
cakap secara hukum, diantaranya belum dewasa atau berada di bawah pengampuan.
Selain itu ada sejumlah jenis perjanjian yang dilarang.
Pasal 4 sampai 16 UU No. 5/1999 menyebutkan ada 11
perjanjian yang dilarang oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain karena
dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau pesaingan usaha yang tidak
sehat. Pemaksaan pembuatan perjanjian
tersebut berakibat batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada, seperti
yang diatur dalam Pasal 1135 KUH Perdata. Alasannya karena objek perjanjiannya
tidak halal, yang melanggar syarat sahnya kontrak di pasal 1320 KUH Perdata.
Perjanjian-perjanjian yang dilarang meliputi:
1. Oligopoli;
2. Penetapan Harga;
3. Diskriminasi Harga
4. Pembagian Wilayah;
5. Pemboikotan;
6. Kartel;
7. Trust;
8. Oligopsoni;
9. Integrasi Vertikal;
10. Perjanjian Tertutup;
11. Perjanjian dengan Luar Negeri.
1. Perjanjian Oligopoli
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian oligopoli dilarang
hanya apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per se illegal.
2. Perjanjian Penetapan Harga
Pelaku usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus
dibayar konsumen atau pelanggannya di pasar yang bersangkutan. Salah satu
contoh perjanjian penetapan harga yang secara per se dilarang adalah ‘price
fixing’.
3. Diskriminasi Harga dan Diskon
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus diayr oleh pembeli lain
untuk barang dan / jasa yang sama.
Alasannya adalah karena praktik ini bisa menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
Larangan diskriminasi harga ditetapkan pada tiga
macam tingkatan strategis diskriminasi harga, yaitu:
a. Diskriminasi harga sempurna, dimana produsen akan
menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen;
b. Diskriminasi harga berdasar jumlah barang yang dibeli (surplus konsumen) seperti yang
dipraktikkan melalui penjualan grosir atau pasar swalayan besar;
c. Diskriminasi harga berdasar karakteristik dan
demografi konsumen, dimana pelaku usaha menetapkan harga berbeda pada kelompok
konsumen yang berbeda.
4. Pembagian Wilayah
Pelaku usaha dilarang memagi wilayah penjualan
untuk menghindari persaingan satu sama lain, baik pembagian berdasar geografi,
jenis dan kelas konsumen, dan jenis produk. Cara ini bisa menimbulkan monopoli
dan persaingan tidak sehat.
5. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk
melakukan pemboikotan, yaitu perjanjian horisontal antar pelaku usaha untuk
menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Bentuknya bisa dua
macam:
a. Menghalangi pelaku usaha lain melakukan usaha yang
sama, di dalam maupun di luar negeri;
b. Menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari
pelaku usaha lain yang merugikan atau membatasi penjualan atau pembelian.
6. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan menagtur
produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakiatkan
terjadinya praktik monopoli dan./atau
persaingan usaha tidak sehat.
Meski di sejumlah negara kartel secara per se
illegal tanpa melihat kewajaran tingkat
harga yang disepakati, menurut UU No 5/1999 kartel yang dilarang adalah kartel
tingkat produksi, tingkat harga, dan/atau wilayah pemasaran. Artinya, kartel
masih dimungkinkan sepanjang tidak menimbulkan praktik monopoli dan atau
persaingan usaha yang tidak sehat yang merugikan masyarkat atau konsumen.
7. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian trust,
yang melahirkan praktik monopoli dan/atau pesaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian trust yang dilarang adalah perjanjian untuk melakukan kerjasama
dengan cara membentuk trust, yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan tadi,
dengan tujuan menciptakan stabilisasi dan kepastian tingkat produksi, dan/atau
tingkat pemasaran yang sama tas barang dan jasa, yang meniadakan persaingan dan
menghasilkan monopoli.
8. Oligopsoni
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
oligopsoni dengan menguasai permintaan pasar.
Pelaku usaha dilarang secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan dengan tujuan mengendalikan harga. Selain itu, pelaku usaha
juga dilarang bersama-sama menguasai lebih dari 75% pangsa pasar barang
sejenis.
9. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang menguasai produksi sejumlah
produk dalam rangkaian produksi bersama-sama dengan perusahaan lain sehingga
menimbulkan persaingan tidak sehat. Yang
dimaksud integrasi vertikal adalah
penguasaan produksi sejumlah produk dari hulu sampai hilir. Meski
praktik ini bisa menghasilkan efisiensi harga, tapi dilarang karena menimbulkan
persaingan tidak sehat.
10. Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian tertutup
dengan pelaku usaha lainnya yang mensyaratkan kekhususan penerimaan pasokan
barang atau jasa dari pihak tertentu. Pelaku usaha juga dilarang mensyaratkan
pembelian barang atau jasa dari pelaku usaha tertentu. Selain itu mereka juga
tidak boleh mensyaratkan membeli atau tidak membeli barang dan/atau jasa dari
pihak tertentu.
11. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha juga dilarang membuat perjanjian
dengan pihak luar negeri yang bisa menimbulkan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian yang
Dikecualikan
Namun demikian, selain yang oleh UU No. 5 tahun
1999 dilarang, ada juga sejumlah perjanjian yang dikecualikan, yaitu perjanjian
yang:
1. Melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; atau
2. Berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual
seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta waralaba; atau
3. Menetapkan standar teknis produk barang dan/atau
jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalangi persaingan; atau
4. Dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuak untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
5. Meneliti untuk peningkatan atau perbaikan standar
hidup masyarakat luas; atau
6. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi
oleh pemerintah RI; atau
7. Bertujuan ekspor yang tidak mengganggu keutuhan dan/atau
pasokan dalam negeri; atau
8. Pelaku usaha kecil; atau
9. Kegiatan
usaha koperasi yang secara khusus bertujuan melayani anggotanya.
II.
KEGIATAN YANG DILARANG
Kegiatan adalah tindakan atau perbuatan hukum
“sepihak” yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
tanpa ada keterkaitan hubungan hukum secara langsung dengan pelaku usaha
lainnya. Bentuk-bentuk kegiatan usaha yang dilarang adalah:
1. Monopoli;
2. Monopsoni;
3. Penguasaan Pasar;
4. Dumping;
5. Manipulasi Biaya Produksi;
6. Persekongkolan.
1. Monopoli
Monopoli adalah kegiatan menguasai pasar sebagai
penjual tunggal untuk memenuhi permintaan yang banyak. Sebagai contoh dulu
penerbangan hanya dioperasikan oleh Garuda Airlines.
Tidak semua kegiatan monopoli dilarang. Kegiatan
monopoli boleh dilakukan oleh negara melalui BUMN untuk menjamin terpenuhinya
hajat hidup orang banyak. Misalnya PLN memonopoli penyediaan listrik. Di masa
lalu, sebelum diperbolehkannya perusahaan minyak swasta dalam negeri maupun
asing masuk ke pasar bahan bakar, Pertamina adalah pemegang monopoli. Kegiatan
monopoli yang dilarang adalah praktik monopoli yang memenuhi unsur dan kriteria
tertentu. Pada dasarnya:
a. Pelaku usaha dilarang menguasai produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan tidak
sehat.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan
penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa apabila barang atau
jasa tersebut belum ada substitusinya; atau mengkibatkan pelaku usaha lain
tidak apat masuk ke persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Perusahaan dilarang melakukan monopoli yang
memenuhi unsur-unsur berikut ini:
a. Menguasai produk barang atau jasa tertentu;
b. Menguasai pemasaran barang atau jasa tertentu;
c. Penguasaan itu mengakibatkan praktik monopoli;
d. Penguasaan tersebut mengakibatkan persaingan tidak
sehat.
Monopoli dilarang karena:
a. Meningkatkan harga karena nihilnya persaingan
bebas;
b. Adanya keuntungan tidak wajar karena keterpaksaaan
konsumen;
c. Terjadi eksploitasi konsumen karena tidak adanya
pilihan produk lain;
d. Hilangnya keekonomian dan ketidakefisienan yang
menambah beban konsumen;
e. Terhambat masuknya pesaing baru;
f.
Tidak
meratanya pendapatan karena terpusatnya dana dan modal ke perusahaan monopoli.
2. Monopsoni
Monopsoni adalah situasi dimana hanya ada satu
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar
yang bertindak sebagai pembeli tunggal sementara penjualnya banyak.
Kegiatan ini dilarang karena pembelian
oleh pembeli tunggal ini bisa mengontrol dan mengendalikan tingkat harga
sehingga menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Termasuk
dilarang adalah bila pembeli menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis
produk.
Sebagai contoh, praktik monopsoni ini pernah
terjadi di masa Orde Baru, yang dilakukan oleh Badan Penyangga Perniagaan
Cengkih (BPPC) sebagai pembeli tunggal hasil cengkih di Indonesia. Pada waktu
itu pemerintah mewajibkan petani cengkih menjual hasil panen mereka kepada
BPPC.
Disebut kegiatan
monopsoni bila:
a. Dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha atau bertindak sebagai pembeli tunggal;
b. Telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu;
c. Mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
3. Penguasaan Pasar
Pelaku usaha dilarang menguasai pasar, baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang bisa menimbulkan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Bentuknya bisa berupa:
a. Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu
untuk melakukan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelau usaha pesaingnya
itu; atau
c. Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang
dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan; atau
d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelau
usaha tertentu.
4. Dumping
Pelaku usaha dilarang memasok barang dan/atau jasa
dengan cara jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud
untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya rpaktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Dumping biasanya
dilakukan eksportir dengan menjual barang, jasa, atau barang dan jasa di pasar
internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah
daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual
kepada negara lain.
5. Manipulasi Biaya
Pelaku usaha dilarang melakukan manipulasi biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi komponen barang dan jasa yang bisa
mengakibatkan pesaingan usaha tidak sehat. Indikasinya adalah harga yang lebih
rendah dari harga seharusnya. Salah satu tujuan manipulasi biaya adalah
menurunkan beban pajak.
6. Persekongkolan
Pelaku usaha dilakukan bersekongkol membatasi atau
menghalangi persaingan usaha, karena dapat mengakibatkan persaingan tidak
sehat. Persekongkolan adalah bentuk
kerjasama satu pelaku usaha denga npelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol. Persekongkolan biasanya berbentuk (a)
pengaturan pemenang tender, (b)
pencurian rahasia dagang perusahaan lain, (c) perolehan informasi lain yang
bersifat rahasia.
III.
POSISI DOMINAN YANG DILARANG
Posisi dominan adalah keadaan dimana pelau usaha
tidak mempunyai pesaing yang berarti di psar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di
antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Pelaku usaha dianggap memiliki posisi dominan
bila:
a. Menguasai 50%
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang tertentu;
b. Dua atau tiga pelau usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Bentuk Kegiatan Posisi
Dominan yang Dilarang
1.
Kegiatan
posisi dominan yang bersifat umum;
2.
Jabatan
rangkap atau kepengurusan terafiliasi;
3.
Pemilikan saham
mayoritas;
4.
Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan perusahaan.
1.
Kegiatan
Posisi Dominan yang Bersifat Umum
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi
dominannya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan
mencegah, menghalangi, atau menghambat konsumen mendapatkan barang, jasa, atau
barang dan jasa yang bersaing, termasuk dari segi kualitas maupun harga; atau
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
2.
Jabatan
Rangkap
UU No. 5 tahun 1999 melarang adanya hubungan
kepengurusan terafiliasi, yakini melarang seseorang menduduki jabatan rangkap
pada waktu yang bersamaan pada perusahaan lain.
Direktur atau komisaris di suatu perusahaan dilarang menjadi direktur
atau komisaris di perusahaan lain bila perusahaan tersebut:
a.
Berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
atau
b.
Memilliki
keterkaitan yang erat dalam bidang,
jenis, atau bidang dan jenis usaha (saling mendukung atau berhubungan langsung
dalam proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran); atau
c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan jasa tertentu, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
3.
Kepemilikan
Saham Mayoritas
Pasal 27 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 melarang
pelaku usaha memiliki saham mayoritas di perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha yang sama, di
pasar yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan
usaha yang sama, pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan
beberapa perusahaan tersebut mengakibatkan;
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
4.
Penggabungan,
Peleburan, dan Pengambilalihan
Pasal 1 angka 1 PP No. 27 tahun 1998 tenatng
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilahian Perseroan Terbatas menyebutkan
bahwa penggabungan adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri
dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang
menggabungkan diri menjadi bubar. Sebagai
contoh, penggabungan bank CIMB dan Bank Niaga menjadi CIMB Niaga.
Peleburan adalah penggabungan dua perusahaan atau
lebih dengan cara membentuk perusahaan baru dan membubarkan perusahaan yang
tergabung tadi. Peleburan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan
cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masinig perseroan yang meleburkan
diri menjadi bubar (Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998). Sebagai contoh, peleburan sejumlah bank
pemerintah kedalam Bank Mandiri.
Sementara itu akuisisi (Pasal 1 angka 3 PP No
27/1998) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh ataupun sebagian besar saham
perseroan, yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan
tersebut. Pengambilalihan suatu perusahaan dapat dilakukan melalui ‘akuisisi
kekayaan’ atau ‘akuisisi modal’. Sebagai contoh, pengambilahan Kecap Bango oleh
Indofood, dan pengambilalihan Aqua oleh Danone.
Tujuan larangan ini adalah untuk mencegah
penguasaan kekuatan pasar secara berlebihan.
Penggabungan, peleburan, danpengambilalihan
perseroan terbatas diperkenankan dalam rangka penciptaan iklim dunia usaha yang
sehat dan efisien, guna menghadapi globalisasi dan liberalisasi perekonomian
dunia yang semakin kompleksasalkan tidak menimbulkan penguasaan sumber ekonomi
dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok atau golongan tertentu. Maka, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
perseroan terbatas yang bisa menimbulkan monopoli, monopsoni, atau pesaingan
curang atau tidak sehat dilarang.
Yang perlu diperhatikan dalam penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas adalah:
a. Kepentingan perseroan terbatas, pemegang saham
minoritas, dan karyawan perseroan terbatas;
b. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam
berusaha, untuk menghindari monopoli atau monopsoni;
c. Tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas
untuk menjual sahamnya dengan harga wajar.
Ada tiga jenis penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan:
1. Bersifat horizontal, yaitu dilakukan di pasar yang
sama, yang memiliki kegiatan yang sama, bahkan produk yang dihailkan juga sama,
dipasarkan di wilayah yang sama.
2. Bersifat vertikal, yaitu dilakukan terhadap
perusahaan dengan jenis usaha dan pasar yang berbeda, namun berkaitan.
3. Bersifat konglomerasi, yaitu dilakukan terhadap
perusahaan yang tidak berkaitan.
Tindakan yang bersifat konglomerasi ini tidak mengandung konsekuensi
apapun terhadap perusahaan yang digabung, dilebur, atau diambil alih. Namun secara tidak langsung akan berdampak
pada ekonomi secar amakro, dimana perusahaan kecil akan tidak mampu bersaing
sehingga mati. Dikawatirkan timbul super
monopolist.
- KESIMPULAN
Bisnis yang baik adalah bisnis yang bukan saja
taat hukum tetapi juga taat etika. Ini karena bisnis yang taat hukum belum
tentu bisnis yang beretika. Seperti yang dikatakan Boartright (2001): “a business is legally alright when it it
ethically compliant.” Sebuah bisnis bisa dikatakan telah taat hukum bila
sudah taat etika pula. Bukan sebaliknya. Banyak perusahaan yang tidak melanggar
hukum (breaking the law) meskipun
kenyataannya mereka telah memanipulasi hukum (bending the law).
Dalam konteks bisnis, Bertens (2000) menyoroti
perlunya penguatan hukum oleh pemerintah melalui pengaturan dan pelarangan
tertentu sejalan dengan karakteristik hukum itu sendiri dimana: (a) selalu ada
hal baru yang harus diatur; (b) hukum seringkali tertinggal oleh perkembangan
bisnis; (c) hukum selalu memiliki multi tafsir; (d) hukum bisa dibelokkan; dan
(e) hukum harus selalu disempurnakan.
Akhirnya, tujuan dari pengaturan oleh pemerintah
adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi stakeholder (pelaku usaha dan konsumen),
stakekeeper (pemerintah) dan stakewatcher
(masyarakat).
Yogyakarta, 3 November 2018
Supriyono, MM