Selasa, 06 November 2018

PERJANJIAN YANG DILARANG


PERJANJIAN YANG DILARANG
 
A.      PENDAHULUAN
Dalam hukum persaingan usaha, peran pemerintah sangat penting dalam menatalaksana kegiatan  usaha agar tercipta perekonomian mikro maupun makro yang sehat. Persaingan yang sehat, sebagai salah satu faktor kunci kesehatan perekonomian, tidak bisa hadir dengan sendirinya karena ada kecenderungan para pelaku usaha melakukan kecurangan. Ini selaras dengan tiga “dosa” pelaku usaha (caveat emptor) yang digagas oleh Ralp Nader, tokoh konsumerisme. Menurutnya, tiga dosa bisnis adalah (a) produk yang buruk, (b) pelaku usaha yang curang, dan (c) promosi yang tidak jujur. Tiga hal itu menjadi ruh persaingan yang tidak sehat, sehingga harus dicegah. Tujuannya adalah agar masyarakat atau konsumen tidak dirugikan.
Kehadiran  pemerintah sangat penting sebagai ‘wasit’ bagi kiprah para pelaku usaha. Pemerintah berkewajiban menyediakan rambu-rambu persaingan yang harus ditaati oleh para pelaku usaha selain ‘peta jalan’ perekonomian nasional sebagai koridor arah perkembangan ekonomi di Indonesia.

B.      PEMBAHASAN
 UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjamin usaha dilakukan secara bertanggungjawab melalui persaingan yang sehat.  Melalui kekuatan regulasinya, pemerintah membolehkan dan melarang sejumlah kegiatan bisnis. Pengaturan ini sejalan dengan filosofi bisnis sebagai suatu persaingan yang cenderung liar yang sudah ditengarai sejak jaman Yunani Kuno dimana Plato bahkan menolak keberadaan bisnis sebagai suatu praktik yang ‘mendekati dosa’. 
Pengalaman empiris juga menunjukkan bahwa bisnis yang tidak dikendalikan pemerintah  cenderung tidak sehat. Naluri saling serang dan menjatuhkan adalah sesuatu yang lazim. Pengaturan oleh pemerintah ditempuh dengan menerbitkan larangan pada praktik atau kegiatan tertentu. Kegiatan yang dilarang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (a) Perjanjian yang dilarang; (b) kegiatan yang dilarang; dan (c) posisi dominan yang dilarang.

I.                  PERJANJIAN YANG DILARANG
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 tahun 1999, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.  Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.  Perjanjian meliputi unsur-unsur:
a.       Adanya suatu perbuatan;
b.      Pelaku usaha yang terikat perjanjian;
c.       Perjanjian tertulis atau tidak tertulis;
d.      Tanpa menyebutkank tujuan perjanjian.
Siapapun bebas membuat perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, norma kesusilaan, kepatutan, dan ketertiban umum di masyarakat. Sebagai suatu bentuk perikatan, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri. Tapi, tidak semua orang boleh membuat perjanjian. Yang dilarang membuat perjanjian adalah orang yang belum atau tidak cakap secara hukum, diantaranya belum dewasa atau berada di bawah pengampuan. Selain itu ada sejumlah jenis perjanjian yang dilarang.
Pasal 4 sampai 16 UU No. 5/1999 menyebutkan ada 11 perjanjian yang dilarang oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain karena dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau pesaingan usaha yang tidak sehat.  Pemaksaan pembuatan perjanjian tersebut berakibat batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada, seperti yang diatur dalam Pasal 1135 KUH Perdata. Alasannya karena objek perjanjiannya tidak halal, yang melanggar syarat sahnya kontrak di pasal 1320 KUH Perdata.
Perjanjian-perjanjian yang dilarang meliputi:
1.       Oligopoli;
2.       Penetapan Harga;
3.       Diskriminasi Harga
4.       Pembagian Wilayah;
5.       Pemboikotan;
6.       Kartel;
7.       Trust;
8.       Oligopsoni;
9.       Integrasi Vertikal;
10.   Perjanjian Tertutup;
11.   Perjanjian dengan Luar Negeri.

1.       Perjanjian Oligopoli
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian oligopoli dilarang hanya apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per se illegal.

2.       Perjanjian Penetapan Harga
Pelaku usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggannya di pasar yang bersangkutan. Salah satu contoh perjanjian penetapan harga yang secara per se dilarang adalah ‘price fixing’.

3.       Diskriminasi Harga dan Diskon
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus diayr oleh pembeli lain  untuk barang dan / jasa yang sama.  Alasannya adalah karena praktik ini bisa menimbulkan persaingan usaha tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha. 
Larangan diskriminasi harga ditetapkan pada tiga macam tingkatan strategis diskriminasi harga, yaitu:
a.       Diskriminasi harga sempurna, dimana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen;
b.      Diskriminasi harga berdasar jumlah barang  yang dibeli (surplus konsumen) seperti yang dipraktikkan melalui penjualan grosir atau pasar swalayan besar;
c.       Diskriminasi harga berdasar karakteristik dan demografi konsumen, dimana pelaku usaha menetapkan harga berbeda pada kelompok konsumen yang berbeda.

4.       Pembagian Wilayah
Pelaku usaha dilarang memagi wilayah penjualan untuk menghindari persaingan satu sama lain, baik pembagian berdasar geografi, jenis dan kelas konsumen, dan jenis produk. Cara ini bisa menimbulkan monopoli dan persaingan tidak sehat.

5.       Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk melakukan pemboikotan, yaitu perjanjian horisontal antar pelaku usaha untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Bentuknya bisa dua macam:
a.       Menghalangi pelaku usaha lain melakukan usaha yang sama, di dalam maupun di luar negeri;
b.      Menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain yang merugikan atau membatasi penjualan atau pembelian.

6.       Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan menagtur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakiatkan terjadinya praktik monopoli dan./atau  persaingan usaha tidak sehat.
Meski di sejumlah negara kartel secara per se illegal  tanpa melihat kewajaran tingkat harga yang disepakati, menurut UU No 5/1999 kartel yang dilarang adalah kartel tingkat produksi, tingkat harga, dan/atau wilayah pemasaran. Artinya, kartel masih dimungkinkan sepanjang tidak menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat yang merugikan masyarkat atau konsumen.

7.       Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian trust, yang melahirkan praktik monopoli dan/atau pesaingan usaha tidak sehat. Perjanjian trust yang dilarang adalah perjanjian untuk melakukan kerjasama dengan cara membentuk trust, yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan tadi, dengan tujuan menciptakan stabilisasi dan kepastian tingkat produksi, dan/atau tingkat pemasaran yang sama tas barang dan jasa, yang meniadakan persaingan dan menghasilkan monopoli.

8.       Oligopsoni
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian oligopsoni dengan menguasai permintaan pasar.  Pelaku usaha dilarang secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan dengan tujuan mengendalikan harga. Selain itu, pelaku usaha juga dilarang bersama-sama menguasai lebih dari 75% pangsa pasar barang sejenis.



9.       Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang menguasai produksi sejumlah produk dalam rangkaian produksi bersama-sama dengan perusahaan lain sehingga menimbulkan  persaingan tidak sehat. Yang dimaksud integrasi vertikal adalah  penguasaan produksi sejumlah produk dari hulu sampai hilir. Meski praktik ini bisa menghasilkan efisiensi harga, tapi dilarang karena menimbulkan persaingan tidak sehat.

10.   Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian tertutup dengan pelaku usaha lainnya yang mensyaratkan kekhususan penerimaan pasokan barang atau jasa dari pihak tertentu. Pelaku usaha juga dilarang mensyaratkan pembelian barang atau jasa dari pelaku usaha tertentu. Selain itu mereka juga tidak boleh mensyaratkan membeli atau tidak membeli barang dan/atau jasa dari pihak tertentu.

11.   Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha juga dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang bisa menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Perjanjian yang Dikecualikan
Namun demikian, selain yang oleh UU No. 5 tahun 1999 dilarang, ada juga sejumlah perjanjian yang dikecualikan, yaitu perjanjian yang:
1.       Melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
2.       Berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta waralaba; atau
3.       Menetapkan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang dan/atau menghalangi persaingan; atau
4.       Dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuak untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
5.       Meneliti untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
6.       Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI; atau
7.       Bertujuan ekspor yang tidak mengganggu keutuhan dan/atau pasokan dalam negeri; atau
8.       Pelaku usaha kecil; atau
9.       Kegiatan  usaha koperasi yang secara khusus bertujuan melayani anggotanya.


II.                            KEGIATAN YANG DILARANG
Kegiatan adalah tindakan atau perbuatan hukum “sepihak” yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa ada keterkaitan hubungan hukum secara langsung dengan pelaku usaha lainnya. Bentuk-bentuk kegiatan usaha yang dilarang adalah:
1.       Monopoli;
2.       Monopsoni;
3.       Penguasaan Pasar;
4.       Dumping;
5.       Manipulasi Biaya Produksi;
6.       Persekongkolan.

1.       Monopoli
Monopoli adalah kegiatan menguasai pasar sebagai penjual tunggal untuk memenuhi permintaan yang banyak. Sebagai contoh dulu penerbangan hanya dioperasikan oleh Garuda Airlines.
Tidak semua kegiatan monopoli dilarang. Kegiatan monopoli boleh dilakukan oleh negara melalui BUMN untuk menjamin terpenuhinya hajat hidup orang banyak. Misalnya PLN memonopoli penyediaan listrik. Di masa lalu, sebelum diperbolehkannya perusahaan minyak swasta dalam negeri maupun asing masuk ke pasar bahan bakar, Pertamina adalah pemegang monopoli. Kegiatan monopoli yang dilarang adalah praktik monopoli yang memenuhi unsur dan kriteria tertentu. Pada dasarnya:
a.       Pelaku usaha dilarang  menguasai produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.
b.      Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa apabila barang atau jasa tersebut belum ada substitusinya; atau mengkibatkan pelaku usaha lain tidak apat masuk ke persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Perusahaan dilarang melakukan monopoli yang memenuhi unsur-unsur berikut ini:
a.       Menguasai produk barang atau jasa tertentu;
b.      Menguasai pemasaran barang atau jasa tertentu;
c.       Penguasaan itu mengakibatkan praktik monopoli;
d.      Penguasaan tersebut mengakibatkan persaingan tidak sehat.

Monopoli dilarang karena:
a.       Meningkatkan harga karena nihilnya persaingan bebas;
b.      Adanya keuntungan tidak wajar karena keterpaksaaan konsumen;
c.       Terjadi eksploitasi konsumen karena tidak adanya pilihan produk lain;
d.      Hilangnya keekonomian dan ketidakefisienan yang menambah beban konsumen;
e.      Terhambat masuknya pesaing baru;
f.        Tidak meratanya pendapatan karena terpusatnya dana dan modal ke perusahaan monopoli.

2.       Monopsoni
Monopsoni adalah situasi dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal sementara penjualnya banyak. Kegiatan  ini dilarang karena pembelian oleh pembeli tunggal ini bisa mengontrol dan mengendalikan tingkat harga sehingga menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Termasuk dilarang adalah bila pembeli menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis produk.
Sebagai contoh, praktik monopsoni ini pernah terjadi di masa Orde Baru, yang dilakukan oleh Badan Penyangga Perniagaan Cengkih (BPPC) sebagai pembeli tunggal hasil cengkih di Indonesia. Pada waktu itu pemerintah mewajibkan petani cengkih menjual hasil panen mereka kepada BPPC.
Disebut kegiatan  monopsoni bila:
a.       Dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha atau bertindak sebagai pembeli tunggal;
b.      Telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
c.       Mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.




3.       Penguasaan Pasar
Pelaku usaha dilarang menguasai pasar, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang bisa menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Bentuknya bisa berupa:
a.       Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau
b.      Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelau usaha pesaingnya itu; atau
c.       Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan; atau
d.      Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelau usaha tertentu.

4.       Dumping
Pelaku usaha dilarang memasok barang dan/atau jasa dengan cara jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya rpaktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.  Dumping biasanya dilakukan eksportir dengan menjual barang, jasa, atau barang dan jasa di pasar internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain.

5.       Manipulasi Biaya
Pelaku usaha dilarang melakukan manipulasi biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi komponen barang dan jasa yang bisa mengakibatkan pesaingan usaha tidak sehat. Indikasinya adalah harga yang lebih rendah dari harga seharusnya. Salah satu tujuan manipulasi biaya adalah menurunkan beban pajak.

6.       Persekongkolan
Pelaku usaha dilakukan bersekongkol membatasi atau menghalangi persaingan usaha, karena dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat.  Persekongkolan adalah bentuk kerjasama satu pelaku usaha denga npelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan  pelaku usaha yang bersekongkol. Persekongkolan biasanya berbentuk (a) pengaturan pemenang tender,  (b) pencurian rahasia dagang perusahaan lain, (c) perolehan informasi lain yang bersifat rahasia.

III.                          POSISI DOMINAN YANG DILARANG
Posisi dominan adalah keadaan dimana pelau usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di psar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Pelaku usaha dianggap memiliki posisi dominan bila:
a.       Menguasai 50%  atau lebih pangsa pasar satu jenis barang tertentu;
b.      Dua atau tiga pelau usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bentuk Kegiatan Posisi Dominan yang Dilarang
1.         Kegiatan posisi dominan yang bersifat umum;
2.         Jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi;
3.         Pemilikan saham mayoritas;
4.         Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan.

1.         Kegiatan Posisi Dominan yang Bersifat Umum
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominannya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a.    Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan mencegah, menghalangi, atau menghambat konsumen mendapatkan barang, jasa, atau barang dan jasa yang bersaing, termasuk dari segi kualitas maupun harga; atau
b.    Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c.     Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.

2.         Jabatan Rangkap
UU No. 5 tahun 1999 melarang adanya hubungan kepengurusan terafiliasi, yakini melarang seseorang menduduki jabatan rangkap pada waktu yang bersamaan pada perusahaan lain.  Direktur atau komisaris di suatu perusahaan dilarang menjadi direktur atau komisaris di perusahaan lain bila perusahaan tersebut:
a.                         Berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b.    Memilliki keterkaitan   yang erat dalam bidang, jenis, atau bidang dan jenis usaha (saling mendukung atau berhubungan langsung dalam proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran); atau
c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

3.         Kepemilikan Saham Mayoritas
Pasal 27 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 melarang pelaku usaha memiliki saham mayoritas di perusahaan sejenis  yang melakukan kegiatan usaha yang sama, di pasar yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama, pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan beberapa perusahaan tersebut mengakibatkan;
a.    Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b.    Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

4.         Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Pasal 1 angka 1 PP No. 27 tahun 1998 tenatng Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilahian Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa penggabungan adalah perbuatan hukum  yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.  Sebagai contoh, penggabungan bank CIMB dan Bank Niaga menjadi CIMB Niaga.
Peleburan adalah penggabungan dua perusahaan atau lebih dengan cara membentuk perusahaan baru dan membubarkan perusahaan yang tergabung tadi.  Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masinig perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar (Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998).  Sebagai contoh, peleburan sejumlah bank pemerintah kedalam Bank Mandiri.
Sementara itu akuisisi (Pasal 1 angka 3 PP No 27/1998) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan, yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut. Pengambilalihan suatu perusahaan dapat dilakukan melalui ‘akuisisi kekayaan’ atau ‘akuisisi modal’. Sebagai contoh, pengambilahan Kecap Bango oleh Indofood, dan pengambilalihan Aqua oleh Danone.
Tujuan larangan ini adalah untuk mencegah penguasaan kekuatan pasar secara berlebihan. 
Penggabungan, peleburan, danpengambilalihan perseroan terbatas diperkenankan dalam rangka penciptaan iklim dunia usaha yang sehat dan efisien, guna menghadapi globalisasi dan liberalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleksasalkan tidak menimbulkan penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok atau golongan tertentu.  Maka, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas yang bisa menimbulkan monopoli, monopsoni, atau pesaingan curang atau tidak sehat dilarang.
Yang perlu diperhatikan dalam penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perseroan terbatas adalah:
a.    Kepentingan perseroan terbatas, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan terbatas;
b.    Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam berusaha, untuk menghindari monopoli atau monopsoni;
c.     Tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk  menjual sahamnya  dengan harga wajar.

Ada tiga jenis penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan:
1.    Bersifat horizontal, yaitu dilakukan di pasar yang sama, yang memiliki kegiatan yang sama, bahkan produk yang dihailkan juga sama, dipasarkan di wilayah yang sama.
2.    Bersifat vertikal, yaitu dilakukan terhadap perusahaan dengan jenis usaha dan pasar yang berbeda, namun berkaitan.  
3.    Bersifat konglomerasi, yaitu dilakukan terhadap perusahaan yang tidak berkaitan.  Tindakan yang bersifat konglomerasi ini tidak mengandung konsekuensi apapun terhadap perusahaan yang digabung, dilebur, atau diambil alih.  Namun secara tidak langsung akan berdampak pada ekonomi secar amakro, dimana perusahaan kecil akan tidak mampu bersaing sehingga mati. Dikawatirkan timbul super  monopolist.

  1. KESIMPULAN
Bisnis yang baik adalah bisnis yang bukan saja taat hukum tetapi juga taat etika. Ini karena bisnis yang taat hukum belum tentu bisnis yang beretika. Seperti yang dikatakan Boartright (2001): “a business is legally alright when it it ethically compliant.” Sebuah bisnis bisa dikatakan telah taat hukum bila sudah taat etika pula. Bukan sebaliknya. Banyak perusahaan yang tidak melanggar hukum (breaking the law) meskipun kenyataannya mereka telah memanipulasi hukum (bending the law).
Dalam konteks bisnis, Bertens (2000) menyoroti perlunya penguatan hukum oleh pemerintah melalui pengaturan dan pelarangan tertentu sejalan dengan karakteristik hukum itu sendiri dimana: (a) selalu ada hal baru yang harus diatur; (b) hukum seringkali tertinggal oleh perkembangan bisnis; (c) hukum selalu memiliki multi tafsir; (d) hukum bisa dibelokkan; dan (e) hukum harus selalu disempurnakan.
Akhirnya, tujuan dari pengaturan oleh pemerintah adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi stakeholder (pelaku usaha dan konsumen), stakekeeper (pemerintah) dan stakewatcher (masyarakat).

Yogyakarta, 3 November 2018
Supriyono, MM