1. Penipuan Tenaga Kerja
Meski tenaga kerja adalah pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat, berperan signifikan dalam pencapaian tujuan perusahaan (laba), dan menjadi penggerak ekonomi keluarga, tapi kesejahteraan tenga kerja (apalagi bila dikonotasikan buruh), masih memprihatinkan. Selain gaji atau upah yang rendah (yang berada di bawah Upah Minimum Propinsi / Kabupaten atau Kebutuhan Hidup Layak), posisi mereka juga sangat rentan karena sangat mudahnya perusahaan memberhentikan pekerja (khususnya karyawan kontrak). Bahkan, untuk mendapatkan pekerjaan, dulu sebagian dari mereka harus mengeluarkan ’uang jaminan’ alias harus ’membeli’ pekerjaan. Lebih celaka lagi, banyak calon karyawan yang tertipu oleh lembaga penyalur tenaga kerja: uang sudah disetorkan tetapi tak kunjung ditempatkan.
Berikut ini sebagian sengketa yang membutuhkan penyelesaian komprehensif dan tuntas dengan bantuan dari mediator bersertifikat:
a. CV DK sudah menerima setoran uang ’jaminan kerja’ dari calon tenaga kerja, tetapi tak kunjung menempatkan mereka;
b. Yayasan AF mempekerjakan karyawan secara tidak patut: menempatkan karyawan bukan pada bidang yang dijanjikan (calon sarjana diminta menjadi juru masak dan jaga warung) dengan jam kerja yang tidak manusiawi (jam 03:00 sampai jam 24:00); menahan ijasah karyawan sebagai jaminan ’hutang’ yang harus dibayar karyawan;
c. PT GM telah menunggak pembayaran gaji dan upah lembur karyawan selama berbulan-bulan;
d. Pemilik tempat hiburan G menciptakan rasa tidak nyaman dan aman pada karyawan dengan memasang target kerja yang terlalu tinggi; berbelit-belit dalam kenaikan gaji; dan menolak pemberian pesangon yang layak pada karyawan yang berhenti.
e. Sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia, PT BCG, dianggap ingkar janji untuk memberangkatkan mereka bekerja di kapal pesiar ternama di luar negeri, padahal mereka sudah mengikuti pendidikan dan menyerahkan sejumlah uang jaminan.
2. Pemaksaan Kehendak
Kebutuhan konsumen berkembang. Sayangnya peningkatan itu tidak selalu seiring dengan kemampuan finansial. Membeli secara tunai kadang-kadang sulit diwujudkan, sehingga membeli secara kredit menjadi pilihan yang sulit tapi harus diterima. Menjadi pilihan sulit karena bunganya yang tinggi, dan risiko kerugian berlapis yang mengintai: barang disita bila telat mengangsur, denda dan penalti yang mencekik, dan ’hangusnya’ semua uang yang telah dibayarkan. Belum lagi tekanan psikologis akibat cara-cara penagihan yang tidak manusiawi oleh para ’debt collector’ yang datang menagih dengan kasar. Secara formal memang perusahaan pembiayaan konsumen memang ’menang’ karena didukung oleh kekuatan bukti formal berupa perjanjian. Toh konsumen sudah ’sepakat’ sebagaimana dibuktikan dengan pembubuhan tanda-tangan pada perjanjian tersebut. Tapi sebenarnya secara material belum tentu konsumen memahami kontrak tersebut, baik karena isinya sulit dimengerti, huruf dan desainnya yang tidak jelas, dan proses pengikatan yang tidak memungkinkan konsumen untuk bertindak dengan cermat.
Contoh kasus yang dimediasi adalah:
a. PT OXX secara sewenang-wenang mengambil paksa kendaraan yang berada di tangan debitor dan menghentikan kredit secara sepihak karena konsumen wanprestasi. Debitor bisa mengambil kembali kendaraan yang disita asalkan melunasi dini semua kewajibannya, termasuk bunga atas pinjaman yang belum dinikmatinya.
b. PT PXZ mengingkari tanggungjawab ulah karyawannya yang melarikan setoran angsuran pembiayaan kendaraan dari debitor dan menolak menyerahkan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor atas nama debitor yang merasa telah melunasi semua setorannya.
3. Kecurangan Bisnis Properti
Rumah sebagai tempat tinggal adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan akan rumah semakin meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan membangun rumah secara mandiri semakin sulit diwujudkan. Membeli rumah di kompleks perumahan menjadi pilihan karena bisa dibeli dengan cara angsuran. Tak heran bisnis perumahan tumbuh sangat pesat, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun seperti yang sering terjadi, selalu ada penyimpangan bestek, legalitas, dan harga. Rumah yang dibangun seringkali berkualias dibawah standar konstruksi, dokumen-dokumennya (IMB dan sertifikat) bermasalah, dan harganya pun terlalu tinggi daripada nilai yang sesungguhnya. Sering kita dengar bahwa bangunan yang pada saat awal mula ditempati tampak indah dan manis, ternyata hanya selang beberapa bulan saja sudah mulai keropos, lapuk, dimakan rayap, retak, bocor, dan sebagainya. Lebih buruk lagi, ternyata sertifikatnya pun tidak segera bisa didapatkan karena IMB nya juga belum diurus.
Berikut ini contoh-contoh sengketa:
a. PT GFA, pengembang perumahan, digugat oleh para pembelinya karena kualitas bangunan yang sangat buruk dan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang tidak dibangun. Buruknya kualitas bangunan terutama dijumpai pada kualitas campuran semen, kayu, dan besi tulangan yang tidak sesuai standar kualitas bangunan tahan gempa.
b. PT MAG diadukan oleh konsumennya karena pengembang itu belum bisa menyelesaikan urusan Ijin Mendirikan Bangunan meskipun rumah-rumah itu sudah ditempati 2 (dua) tahun! Ternyata IMB belum bisa dikeluarkan oleh Dinas Kimpraswil karena pengembang tidak memenuhi aturan tentang site plan dan tidak menyediakan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
c. PT TKW digugat oleh konsumennya karena luas tanah dan bangunan yang telah dibayar konsumen ternyata tidak sesuai dengan ukuran yang sesungguhnya.
4. Kebohongan Lembaga Pendidikan
Meningkatnya kebutuhan pendidikan direspon dengan sigap oleh penyelenggara lembaga pendidikan dengan membuka lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan non-formal. Tapi pertumbuhan ini tidak selalu disertai dengan kesiapan manajemen sehingga banyak lembaga pendidikan yang secara akademik berkualitas buruk. Sayangnya, lembaga pendidikan juga sudah mulai berubah orientasi, dari yang bersifat layanan sosial menjadi sebuah industri yang berorientasi laba. Persaingan antar pengelola sedemikian sengit, sehingga kadang-kadang mereka menempuh cara-cara yang tidak patut. Seringkali mereka menggunakan retorika iklan dan promosi yang sangat bombastis (contoh: ’dijamin lancar berbahasa Inggris dalam satu bulan’); manipulatif (contoh: ’jaminan uang pendidikan kembali’, meskipun sebenarnya yang dikembalikan hanya sebagian kecil saja); dan bersifat kamuflase (menyebut peserta didik sebagai ’mahasiswa’, dan menjalankan struktur akademik dengan SKS).
a. Lembaga Pendidikan ”PP” dianggap telah berbohong mengenai legalitas sertifikat TOEFL yang mereka terbitkan.
b. Lembaga Pendidikan ”PB” dituntut mengembalikan uang pendidikan karena lembaga pendidikan itu gagal menempatkan mereka bekerja di kapal-kapal pesiar sebagaimana yang dijanjikan.
5. Perselisihan Asuransi
Mengikuti asuransi bertujuan untuk memberikan jaminan atas suatu risiko kerugian yang bisa timbul karena alamiah (kematian) atau karena kecelakaan (lalu lintas, kebakaran, dsb.). Ketaatan dan kedisiplinan membayar premi mewujudkan itikad baik Tertanggung dalam berkontrak. Namun seringkali ada praktik penyimpangan oleh unsur pelaku usaha, baik eksekutif, agen, atau bahkan kebijakan perusahaan. Contoh-contoh yang bisa dikemukakan diantaranya adalah:
a. PT Asuransi Hebat menolak klaim asuransi nasabahnya karena setoran premi asuransi dari tertanggung itu dilarikan oleh Agen. Perusahaan menolak mengakui keabsahan pembayaran oleh konsumen dan bahkan tidak mengambil tindakan yang diperlukan untuk membantu konsumen menyelesaikan masalah ini.
b. PT Asuransi Top telah dilikuidasi sehingga para tertanggung kesulitan mengajukan klaim. Sebagian tertanggung bahkan telah kehilangan polis yang diminta oleh Direktur tetapi tidak ada tindak lanjut.
email mediasi_konflik@yahoo.com