Minggu, 05 Oktober 2014

PENGGABUNGAN LOS DIY DAN LOD DIY

Supriyono, MM, CM Komisioner Ombudsman Swasta DIY 2008 - 2011

Wacana penggabungan Lembaga Ombudsman Swasta Daerah Istimewa Yogyakarta (LOS DIY) dan Lembaga Ombudsman Daerah DIY (LOD DIY) baru-baru ini sebenarnya dilandasi pemikiran efektivitas pengawasan layanan publik oleh lembaga independen seperti Ombudsman di satu sisi, dan demi efisiensi anggaran dari anggaran  pendapatan dan belanja daerah di sisi lain. Kebutuhan akan lembaga yang berwibawa untuk mengawasi sekaligus menegur penyelenggara layanan publik yang buruk tak terbantahkan. Keberadaan ombudsman akan mampu menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat pengguna  layana publik yang merasa sering dipersulit dalam memperoleh layanan publik. Selain itu, ombudsman juga bisa membuka semangat partisipasi publik dalam mengawasi penyelenggara pelayanan publik. Jangkauan pengawasan dengan demikian  menjadi lebih luas. Bukan lagi berupa inspeksi mendadak  (sidak) tetapi pengawasan berbasis masyarakat di  akar rumput. Kanalisasi pengaduan menjadi lebih konkrit. Masyarakat tahu apa yang bisa dilaporkan, bagaimana cara melaporkan, dan kemana melaporkan  suatu penyimpangan oleh penyelenggara  layanan publik. Di sisi lain, bagi penyelenggara layanan publik, baik  aparatur pemerintah maupun sektor swasta, semakin terdorong untuk berkinerja lebih baik  agar mereka tidak dilaporkan ke lembaga ombudsman.
Secara historis, Lembaga Ombudsman Swasta DIY (LOS DIY) dibentuk untuk mengawasi perilaku (dan menegur) penyimpangan tata kelola usaha oleh sektor swasta. Di sisi lain, Lembaga Ombudsman Daerah DIY (LOD DIY) bertugas mengawasi dan mendorong perbaikan tata kelola layanan masyarakat oleh penyelenggara pemerintahan di daerah. Meski ada kesamaan diantara keduanya - sama-sama didanai dengan uang dari APBD DIY, sama-sama bersifat sebagai lembaga non-litigasi dan non-adjudikasi - LOS DIY dan LOD DIY memiliki sejumlah perbedaan operasional. LOS DIY lebih banyak menuntut tugas-tugas  mediasi antara para pihak karena yang disengketakan biasanya adalah sengketa perdata seperti perjanjian jual-beli, utang-piutang, kerusakan lingkungan, isu ketenagakerjaan, persaingan usaha, perjanjian kerjasama, kredit perbankan, wanprestasi, dan  sebagainya. Karena bersifat privat inilah maka mediasi menjadi lebih dominan untuk dimainkan. Di sisi lain, LOD DIY lebih banyak mendorong dipatuhinya tata pemerintahan yang baik dan benar seperti standar pelayanan minimal, standard operating procedure, dan peraturan daerah. Karena bersifat publik, maka kepatuhan pada prinsip-prinsip tatanan pemerintahan  yang baik adalah wajib, meski kadang bisa pula diberikan toleransi.
Tidak masalah bila LOS DIY dan LOD DIY digabung atau dilebur menjadi Lembaga Ombudsman DIY, sepanjang tetap mencakup paling tidak dua bidang yang selama ini sudah diampu oleh LOS DIY dan LOD DIY.  Tentu jangan sampai keputusan menggabungkan LOS DIY dan LOD DIY semata-mata dilandasi semata-mata penghematan anggaran sehingga mengorbankan kapasitas dan kualitas lembaga. Kedua bidang itu bisa disinergikan sehingga bisa diampu oleh para komisioner yang memiliki kapasitas kerja dan  integritas moral yang terbaik. Kemampuan komunikasi sepertinya perlu diberi bobot besar karena tugas-tugas komisioner Ombudsman lebih banyak berhubungan dengan kemampuan itu: mendengarkan, mengemukakan pendapat, dan menganjurkan  jalan keluar. Kemampuan komunikasi memungkinkan hubungan para pihak yang semula tegang, kaku, dan panas bisa rileks, lentur, dan hangat sehingga permasalahan lebih mudah dipecahkan. Seyogyanya, pendekatan ombudsman ke depan lebih banyak ke edukasi dan mitigasi masyarakat, advokasi kebijakan pemerintah (daerah), dan promosi nilai-nilai keutamaan pada penyelenggara layanan publik.
 Disebutkan oleh Panitia Seleksi bahwa keberadaan Ombudsman Yogyakarta ini tidak akan bertabrakan dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jateng dan DIY. ORI dan Ombudsman Yogyakarta akan bisa bersinergi untuk sama-sama mengawasi pelayanan publik. Bedanya, ORI bertanggungjawab ke ORI Pusat sedangkan  Ombudsman Yogyakarta bertanggungjawab ke Gubernur DIY.  Dengan anggota 7 orang, ombudsman yogyakarta nantinya menggunakan struktur baru. Struktur tersebut hendaknya memperhatikan prinsip kebutuhan operasional organisasi yang dikemas dalam konsep keorganisasian model fungsional, divisional, atau model matriks. Model fungsional artinya  tiap elemen struktur dibentuk untuk menjalankan fungsi, seperti fungsi  mediasi, investigasi,dan koordinasi. Model divisional mensyaratkan pembentukan struktur berdasar bidang-bidang yang dikelola, misalnya bidang tata kelola layanan publik dan tata kelola layanan sektor swasta. Sementara itu, model matriks menyiratkan pembentukan struktur yang merupakan kombinasi antara  keduanya, yang biasanya digunakan untuk tugas-tugas yang  sifatnya ad hoc.
Dengan komposisi anggota Panitia Seleksi yang terdiri dari praktisi hukum, pengelola media massa  pengusaha, budayawan, dan akademisi kita berharap seleksi komisioner ombudsman Yogyakarta bisa menghasilkan orang-orang yang berkapasitas kerja bagus dan berintegritas moral yang mulia. Sebenarnya, akan lebih baik apabila, tim panitia seleksi melibatkan mantan anggota Ombudsman, karena mereka umumnya mengetahui persis definisi, kebutuhan, mekanisme kerja, dinamika, tantangan, dan peluang perbaikan kerja Ombudsman Yogyakarta.
Tentu kita sangat yakin bahwa para anggota tim seleksi ombudsman Yogyakarta betul-betul menguasai permasalahan tentang ke-ombudsman-an, semisal tentang mekanisme penyelesaian sengketa konsumen di BPSK, sengketa hubungan industrial di PHI, dan sebagainya.

Disclaimer:
Tulisan ini pendapat pribadi, tidak mewakili lembaga atau organisasi apa pun dimana penulis bergabung di dalamnya.