PENYELESAIAN
SENGKETA MEDIS
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 h dan Konstitusi WHO (1948) serta
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menetapkan bahwa kesehatan
adalah hak asasi manusia yang merupakan hak fundamental setiap warga. Karena
itu setiap individu berhak memperoleh perlindungan kesehatan, dan negara
bertanggungjawab mengatur agar masyarakat terpenuhi haknya untuk hidup sehat.
Layanan kedokteran merupakan layanan yang sangat vital dalam
menjalankan amanat undang-undang tersebut. Namun karena layanan kedokteran
adalah sistem yang kompleks dan ketat,
seringkali terjadi kecelakaan. Sebagian risiko buruk (adverse events) tindakan medis bisa
diterima (acceptable) dan sebagian
lain tak bisa diterima (unacceptable).
Suatu risiko bisa diterima karena alasan risikonya minimal, probabilitasnya
kecil, kedaruratan, keterbatasan sumberdaya, nilai manfaat yang tak
tergantikan, dan yang tak bisa dihindari atau dicegah, serta risiko yang tak
terduga. Sepanjang sudah diinformasikan dengan baik dan benar kepada pasien dan
sudah mendapatkan persetujuan (informed
consent), maka bila risiko tersebut terjadi di kemudian hari tidak bisa
dimintakan tanggungjawab kepada dokter atau tenaga medis lain. Namun, pasien
tetap dapat menggugat dokter apabila
dalam pelaksanannya ternyata terdapat kesalahan atau kelalaian (mala-practice).
World Medical Association (1992) mendefinisikan malpraktek medis
sebagai perbuatan dokter yang meliputi kegagalan memenuhi standar dalam
penanganan kondisi pasien, atau kekurangterampilan / ketidakompetensian, atau
karena kelalaian dalam memberikan asuhan kedokteran kepada pasien, yang
merupakan penyebab langsung dari cidera pada pasien. Kelalaian terjadi karena
seseorang melakukan (commission) atau
tidak melakukan (omission) yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki
kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Sengketa praktek medis adalah suatu fenomena yang semakin mengemuka
belakangan ini. Karena proses litigasi di pengadilan memakan waktu dan biaya
yang banyak, maka proses penyelesaian sengketa alternatif melalui mediasi pun
semakin banyak dipilih. Bahkan acara
hukum perdata mengatur bahwa sebelum disidangkan di pengadilan, suatu perkara
sebelumnya harus sudah diupayakan untuk diselesaikan di luar pengadilan, baik
melalui mediator maupun tanpa mediator. Ini selaras dengan Undang-Undang No. 30
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Peraturan
Mahkamah Agung tahun 2003 dan diperbarui dengan Perma No. 1 tahun 2008.