Kamis, 08 November 2018

PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS


                               PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 h dan Konstitusi WHO (1948) serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menetapkan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang merupakan hak fundamental setiap warga. Karena itu setiap individu berhak memperoleh perlindungan kesehatan, dan negara bertanggungjawab mengatur agar masyarakat terpenuhi haknya untuk  hidup sehat.
Layanan kedokteran merupakan layanan yang sangat vital dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut. Namun karena layanan kedokteran adalah sistem yang kompleks dan ketat,  seringkali terjadi kecelakaan. Sebagian risiko buruk (adverse events) tindakan medis bisa diterima (acceptable) dan sebagian lain tak bisa diterima (unacceptable). Suatu risiko bisa diterima karena alasan risikonya minimal, probabilitasnya kecil, kedaruratan, keterbatasan sumberdaya, nilai manfaat yang tak tergantikan, dan yang tak bisa dihindari atau dicegah, serta risiko yang tak terduga. Sepanjang sudah diinformasikan dengan baik dan benar kepada pasien dan sudah mendapatkan persetujuan (informed consent), maka bila risiko tersebut terjadi di kemudian hari tidak bisa dimintakan tanggungjawab kepada dokter atau tenaga medis lain. Namun, pasien tetap dapat menggugat dokter  apabila dalam pelaksanannya ternyata terdapat kesalahan atau kelalaian (mala-practice).
World Medical Association (1992) mendefinisikan malpraktek medis sebagai perbuatan dokter yang meliputi kegagalan memenuhi standar dalam penanganan kondisi pasien, atau kekurangterampilan / ketidakompetensian, atau karena kelalaian dalam memberikan asuhan kedokteran kepada pasien, yang merupakan penyebab langsung dari cidera pada pasien. Kelalaian terjadi karena seseorang melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) yang seharusnya dilakukan  oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Sengketa praktek medis adalah suatu fenomena yang semakin mengemuka belakangan ini. Karena proses litigasi di pengadilan memakan waktu dan biaya yang banyak, maka proses penyelesaian sengketa alternatif melalui mediasi pun semakin banyak dipilih. Bahkan  acara hukum perdata mengatur bahwa sebelum disidangkan di pengadilan, suatu perkara sebelumnya harus sudah diupayakan untuk diselesaikan di luar pengadilan, baik melalui mediator maupun tanpa mediator. Ini selaras dengan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Peraturan Mahkamah Agung tahun 2003 dan diperbarui dengan Perma No. 1 tahun 2008.