Siapa yang Mengawasi?
Peran lembaga yang mengawasi dan mendorong agar
praktik bisnis diselenggarakan dengan cara-cara yang beretika sangat
signifikan. Perlu penanaman dan penegakan nilai-nilai etika dalam pengelolaan
bisnis melalui penyadaran nilai etika pada para pelaku usaha, penanaman sikap
kritis dalam pengawasan usaha oleh warga masyarakat, dan pengawasan struktural
oleh lembaga pemerintah.
Penegakan nilai etika bisnis harus melibatkan para
pihak terkait, termasuk pelaku usaha dan konsumen. Dengan pendekatan
kemanfaatan, pelaku usaha perlu didorong untuk memahami manfaat penerapan etika
usaha dengan mengambil teladan dari perusahaan-perusahaan yang bisa tumbuh dan
berkembang besar karena konsisten menerapkan etika usaha. Perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa
dalam paradigma baru, etika bisnis dipandang sebagai investasi yang
menguntungkan dalam jangka panjang, dan tidak lagi dipandang sebagai biaya
sosial yang membebani.
Konsumen pun turut berperan dalam mengawasi
penegakan etika dalam pengelolaan usaha dengan konsisten memperjuangkan
semangat konsumerisme agar terhindar dari (a) produk yang buruk; (b) praktik
usaha yang curang; dan (c) promosi yang
menyesatkan. Perlu ditegakkan hak-hak
konsumen yang meliputi diantaranya hak akan keselamatan, hak atas informasi,
hak untuk memilih, dan hak untuk didengarkan. Kesadaran akan hak ini diharapkan bisa mendorong
konsumen bersikap kritis dalam berhadapan dengan pelaku usaha. Dengan demikian
tercipta suatu partisipasi kritis dari konsumen dalam turut mendorong penegakan
etika dalam tata kelola usaha.
Perubahan
Paradigma
Penegakan etika usaha seringkali terkendala karena pelaku usaha belum
melihat manfaat fragmatis dari etika usaha
dan belum mengetahui standar etika usaha. Mendorong penegakan etika
dalam usaha pada pelaku usaha akan lebih efektif bila mereka menyadari manfaat
etika dalam usaha. Himbauan
dengan pendekatan dogmatis moralitistis tidak selalu memberi hasil yang bagus. Oleh
karena itu pendekatan fragmatis perlu diterapkan. Apabila para pelaku usaha merasakan manfaat dari
praktik bisnis yang etis, maka nilai-nilai etika akan lebih mudah diterima.
Perlu ditumbuhkan paradigma baru bahwa etika usaha adalah bagian dari investasi
dan bukan justru dianggap sebagai biaya. Artinya, bisnis yang
beretika pada saatnya akan menghasilkan kemakmuran bagi perusahaan. Banyak
perusahaan yang tumbuh dan besar melalui bisnis yang beretika. Bisnis yang
beretika memberi efek positif bagi
perusahaan untuk:
a. Membangun
citra yang baik;
b. Meningkatkan daya saing yang sulit ditiru;
c. Mengurangi risiko keluhan; dan
d. Menjalankan
strategi promosi yang murah agar pelanggan setia dan agar tercipta keuntungan
dalam jangka panjang.
Sementara Bertens
(2000) mengemukakan tiga indikator untuk menilai apakah suatu bisnis sudah
menerapkan nilai-nilai etika atau belum. Menurutnya, bisnis yang baik haruslah
bisnis yang:
(a) Sesuai dengan hati nurani yang murni
(b) Berempati
(c) Bisa diterima oleh masyarakat (audit
sosial)
Suatu bisnis disebut baik apabila dalam pengelolaannya didasarkan pada hati nurani
yang baik yang menuntun kita memilih yang baik dan mengindari yang buruk.
Empati menunjukkan pada kita untuk memperlakukan orang lain dengan patut dan
terhormat, sama seperti kita ingin diperlakukan. Dalam bahasa sederhana bisa
dikatakan bahwa kita ”tidak boleh mencubit apabila kita tidak ingin dicubit”.
Sebuah bisnis juga bisa dikatakan bisnis yang baik apabila menurut penilaian
masyarakat luas (audit sosial) bisnis tersebut baik.
Pemberdayaan Konsumen
Peran masyarakat sangat penting dalam pengawasan agar
penyelenggara usaha swasta bisa mengelola usahanya secara profesional dan
bertanggungjawab karena pada dasarnya keputusan membeli oleh konsumen sangat
menentukan kelangsungan hidup suatu usaha. Apabila konsumen bersikap kritis
dalam keputusan pembeliannya, maka pelaku usaha akan tergerak untuk memberikan
layanan yang lebih baik.
Apa yang bisa diperbuat oleh pelaku usaha bila
konsumen tidak mau membeli produknya? Akan lebih efektif bila kita mendesak
konsumen untuk menjadi konsumen yang cerdas dan kritis dalam membeli, daripada
mendesakkan agar pelaku usaha mengikuti seperangkat nilai tertentu. Apabila
konsumen tidak kritis, pelaku usaha selalu termotivasi untuk melakukan
penyimpangan baik dalam hal proses produksi, promosi, penjualan, maupun layanan
purna jual.
Oleh karena itu penyebaran nilai-nilai
konsumerisme perlu dilaksanakan agar masyarakat terhindar dari produk yang
buruk, praktik penyelenggaraan usaha yang curang, dan iklan yang menyesatkan.
Yang menjadi masalah adalah bahwa konsumen selalu
berada pada pihak yang lebih lemah dibanding pelaku usaha, karena adanya
ketimpangan informasi dan pengetahuan tentang produk yang akan ditransaksikan.
Pelaku usaha menguasai informasi dan pengetahuan tentang produk karena mereka
yang membuatnya, dan sehingga berpeluang menutupi kekurangan dan melebihkan
kelebihan-kelebihannya melalui iklan yang cenderung kamuflatif dan manipulatif.
Contoh yang paling menonjol adalah pada saat konsumen harus menandatangani
perjanjian kredit. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, pelaku usaha menyusun
perjanjian standar sedemikian rupa yang berusaha melindungi kepentingan dan
hak-haknya, dan sekaligus mendesak konsumen dengan mengatur
kewajiban-kewajibannya. Pelaku usaha seringkali mengatur ’siasat’ sedemikian
rupa sehingga materi perjanjian, tata-tulis dan tata-letak perjanjian, serta
proses perjanjian tidak memungkinkan konsumen untuk cermat memeriksanya. Di
kemudian hari, ketika terjadi akibat hukum akibat adanya wanprestasi, si
konsumen baru mengetahui bahwa ada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang
sebelumnya tidak pernah disadarinya. Bila konsumen cermat membaca dan
menganalisa (serta bertanya), maka kerugian seperti itu bisa dihindarkan.