Bekerja adalah kegiatan yang
kodrati pada manusia. Manusia yang sehat akan bekerja sebagai bagian dari antara karyawan (agen) dengan
‘majikan’ (principal). Meski sudah ada undang-undang ketenagakerjaan yang
mengatur hubungan kerja diantara keduanya, masih saja terjadi sejumlah
perselisihan, yang lebih seringnya berdampak buruk pada karyawan karena daya
tawarnya yang lebih rendah.
upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan bekerja orang akan bisa menghasilkan pendapatan dan menumpuk kekayaan. Ada orang bekerja untuk dan pada dirinya sendiri (principal), dan ada orang yang bekerja untuk dan pada orang lain (agen). Dalam suatu hubungan kerja sering timbul masalah
upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan bekerja orang akan bisa menghasilkan pendapatan dan menumpuk kekayaan. Ada orang bekerja untuk dan pada dirinya sendiri (principal), dan ada orang yang bekerja untuk dan pada orang lain (agen). Dalam suatu hubungan kerja sering timbul masalah
Sengketa atau perselisihan antara tenaga kerja dengan perusahaan biasanya diselesaikan melalui sejumlah
tahapan yang sudah ditentukan. Pada tahap paling awal, penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan diupayakan melalui pertemuan bipartit antara Karyawan dan
Perusahaan. Bila tidak menghasilkan kesepakatan, maka mediasi dilakukan oleh
pejabat yang berwenang, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja. Dalam kapasitasnya
sebagai mediator, pejabat dari Dinas
Tenaga Kerja mengupayakan tercapainya kesepakatan antara para pihak,
dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun, bila
mediasi ini gagal, maka dibuatlah semacam risalah, yang selanjutnya akan dikirimkan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial sebagai
suatu lembaga peradilan khusus ketenagakerjaan yang akan memutus sengketa atau perselisihan itu.
Secara kategoris, sengketa yang timbul dalam bidang ketenagakerjaan
biasanya berkisar pada tidak adanya kata
sepakat tentang hak-hak normatif
pekerja, meski sebenarnya sudah
diatur dengan jelas dalam undang-undang
ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang normatif buruh
berupa hak ekonomis, hak politis, hak medis, dan hak sosial, sengketa antara tenaga kerja dengan perusahaan
masih saja sering terjadi.
Hak ekonomis adalah hak yang
paling mendasar dan sekaligus banyak menimbulkan sengketa. Upah yang lebih rendah dari standar (UMR),
terlambat dibayarkan, atau dipotong untuk berbagai iuran banyak menimbulkan ketidakpuasan pada
pekerja. Di sisi lain, perusahaan pun
punya dalih yang tak kalah
argumentatifnya tentang cara menghitung upah / gaji dan alasan
keterlambatan pembayaran. Belum lagi sengketa masalah THR yang
menurut pekerja sering tidak diberikan, apalagi tunjangan hari tua atau pensiun.
Alasan utama perusahaan tentang terjadinya permasalahan itu
adalah belum mampunya perusahaan memenuhi kewajiban (meskipun pekerja mengaku tahu bahwa produksi dan
pemasarannya lancar). Perusahaan sering
mengaku kesulitan memberikan upah sesuai UMR atau bahkan terpaksa menundanya,
tanpa ada audit oleh auditor independen. Sangat dimaklumi bila karyawan meragukan
kejujuran pengusaha
Sengketa ketenagakerjaan juga bisa terjadi karena karyawan tidak
mendapatkan hak politik tenaga
kerja. Meski UU No. 13 tahun 2003 sudah
mengatur hak-hak politik karyawan, sejumlah sengketa timbul karena
karyawan di PHK karena mengikuti mogok
kerja yang sah secara
hukum. Pelarangan
pembentukan serikat pekerja pun sering menjadi pemicu
ketidakpuasan karyawan, apalagi karena karyawan merasa punya hak untuk
bergabung atau membentuk serikat
pekerja.
Selain itu, perselisihan tentang
kondisi kerja juga bisa diselesaikan dengan mediasi. Kondisi kerja yang buruk
yang mengancam kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kerja juga merupakan salah satu sumber ketidakpuasan kerja. Sejumlah perusahaan bahkan
memberlakukan pekerjaan lembur diluar
kewajaran seperti di hari istirahat dan hari libur tanpa kompensasi yang memadai.
Demikian pula dengan hak medis. Sengketa dalam bidang ini biasanya karena perempuan yang hamil dan
menyusui merasa tidak mendapatkan
cuti yang memadai. Meski secara normatif ada cuti hamil dan menyusui,
proses mendapatkannya tidaklah mudah. Para karyawan merasa bahwa perusahaan
selalu punya alasan pembenarnya sendiri.
Supriyono