Rabu, 11 September 2013

MEDIASI SENGKETA KETENAGAKERJAAN




Bekerja adalah kegiatan yang kodrati pada manusia. Manusia yang sehat akan bekerja sebagai bagian dari   antara karyawan (agen) dengan ‘majikan’ (principal). Meski sudah ada undang-undang ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja diantara keduanya, masih saja terjadi sejumlah perselisihan, yang lebih seringnya berdampak buruk pada karyawan karena daya tawarnya yang lebih rendah.
upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan bekerja orang akan bisa menghasilkan pendapatan dan menumpuk kekayaan. Ada orang bekerja untuk dan pada dirinya sendiri (principal), dan ada orang yang bekerja untuk dan pada orang lain (agen). Dalam suatu hubungan kerja sering timbul masalah
Sengketa atau perselisihan antara tenaga kerja dengan perusahaan  biasanya diselesaikan melalui sejumlah tahapan yang sudah ditentukan. Pada tahap paling awal, penyelesaian sengketa ketenagakerjaan diupayakan melalui pertemuan bipartit antara Karyawan dan Perusahaan. Bila tidak menghasilkan kesepakatan, maka mediasi dilakukan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja. Dalam kapasitasnya sebagai mediator, pejabat dari Dinas  Tenaga Kerja mengupayakan tercapainya kesepakatan antara para pihak, dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun, bila mediasi ini gagal, maka dibuatlah semacam risalah,  yang selanjutnya akan dikirimkan kepada Pengadilan  Hubungan Industrial sebagai suatu lembaga peradilan khusus ketenagakerjaan yang akan  memutus sengketa atau perselisihan itu.

Secara kategoris, sengketa yang timbul dalam bidang ketenagakerjaan biasanya  berkisar pada tidak adanya kata sepakat tentang  hak-hak normatif pekerja, meski sebenarnya  sudah diatur  dengan jelas dalam undang-undang ketenagakerjaan.  Undang-Undang  No. 13 tahun 2003 tentang normatif buruh berupa hak ekonomis, hak politis, hak medis, dan hak sosial,  sengketa antara tenaga kerja dengan perusahaan masih saja sering terjadi.
Hak ekonomis adalah hak yang paling mendasar dan sekaligus banyak menimbulkan sengketa. Upah yang lebih rendah dari standar (UMR), terlambat dibayarkan, atau dipotong untuk berbagai iuran banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pekerja.  Di sisi lain, perusahaan pun punya dalih yang tak kalah  argumentatifnya tentang cara menghitung upah / gaji dan alasan keterlambatan pembayaran. Belum lagi sengketa masalah THR yang menurut pekerja sering tidak diberikan, apalagi tunjangan hari tua atau pensiun. Alasan utama perusahaan  tentang terjadinya permasalahan itu adalah belum mampunya perusahaan memenuhi kewajiban (meskipun pekerja mengaku tahu bahwa produksi dan pemasarannya lancar).  Perusahaan sering mengaku kesulitan memberikan upah sesuai UMR atau bahkan terpaksa menundanya, tanpa ada audit oleh auditor independen. Sangat dimaklumi bila karyawan meragukan kejujuran pengusaha
Sengketa ketenagakerjaan juga bisa terjadi karena karyawan tidak mendapatkan hak politik tenaga kerja. Meski UU No. 13 tahun 2003 sudah  mengatur hak-hak politik karyawan, sejumlah sengketa timbul karena karyawan  di PHK karena mengikuti mogok kerja  yang sah  secara  hukum. Pelarangan pembentukan  serikat pekerja pun sering menjadi pemicu ketidakpuasan karyawan, apalagi karena karyawan merasa punya hak untuk bergabung atau  membentuk serikat pekerja.
Selain itu, perselisihan tentang kondisi kerja juga bisa diselesaikan dengan mediasi. Kondisi kerja yang buruk yang mengancam kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kerja juga merupakan salah satu sumber ketidakpuasan  kerja. Sejumlah perusahaan bahkan memberlakukan  pekerjaan lembur diluar kewajaran seperti di hari istirahat dan hari libur tanpa kompensasi yang memadai.
Demikian pula dengan hak medis. Sengketa dalam bidang ini biasanya  karena perempuan yang hamil dan menyusui merasa tidak mendapatkan cuti yang memadai. Meski secara normatif ada cuti hamil dan menyusui, proses mendapatkannya tidaklah mudah. Para karyawan merasa bahwa perusahaan  selalu punya alasan pembenarnya sendiri.
Supriyono