Rabu, 26 Desember 2018

PROFITEERING


PROFITEERING


Profiteering adalah suatu istilah untuk menggambarkan usaha mencari keuntungan secara berlebihan, kadang dengan menghalalkan segala cara. Kata profit sendiri artinya keuntungan atau laba. Prinsip ekonomi menegaskan bahwa bisnis ‘yang baik’ adalah bisnis yang memberikan banyak untung. Karena semata-mata mengejar untung (profiteering),  perusahaan seringkali bertindak tidak etis. Agar biaya produksi murah, ada perusahaan yang menggunakan tenaga kerja anak-anak, memberlakukan jam kerja panjang dan gaji rendah, atau sistem kerja kontrak untuk menghindari tunjangan dan pesangon. Demikian pula, untuk meningkatkan penjualan, sejumlah perusahaan menerapkan cara-cara promosi yang tidak jujur. Ada toko yang menggunakan strategi ‘bait and switch’ yaitu merangsang calon pembeli dengan produk murah, yang sebenarnya tidak tersedia, dan  mendorong calon konsumen membeli produk lain dengan harga lebih tinggi.
Sebenarnya perilaku tidak etis juga sangat dekat dengan lingkungan kita. Kita sering ‘dipaksa’ mengikhlaskan tidak diberi uang kembalian saat kita berbelanja di toko atau saaat mengisi bahan bakar di SPBU karena tidak adanya uang kembalian dari selisih harga pembelian. Dengan alasan pembulatan, sejumlah usaha memaksa kita ‘mengikhlaskan’ membayar sekian ratus rupiah lebih tinggi dari tagihan semestinya. Memang jumlahnya kecil. Namun, tindakan ini tetap saja tidak patut dan merupakan bibit korupsi.  Rupanya, perilaku koruptif sudah menjangkiti hampir semua bidang kehidupan sosial ekonomi kita. Semuanya dilandasi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya!
Menurut Bertens (2000), bisnis yang tidak melanggar hukum, belum tentu tidak melanggar moralitas. Etika diperlukan untuk melengkapi hukum karena lima alasan: (a) hokum tidak mengatur segala sesuatu, (b) hukum sering kalah cepat dari perkembangan bisnis; (c) hukum selalu memiliki celah yang bisa disalahgunakan; (d) hukum sering tidak ditegakkan; dan (e) ketentuan hukum seringkali memiliki multi-tafsir. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang taat pada peraturan atau hukum, transparan, akuntabel, bertanggungjawab, wajar, jujur,  berempati, dan independen. Indikator ketaatan pada hukum dan aturan  lebih mudah diukur dari undang-undang atau hukum yang berlaku. Masalahnya, bagaimana kita bisa mengatakan suatu perusahaan telah bersikap jujur, wajar, dan bertanggungjawab?
Oleh karena itu, untuk menilai apakah suatu bisnis itu etis atau tidak, Bertens (2000) mengemukakan  tiga tolok ukur etika bisnis: (a) hati nurani; (b) empati; dan (c) audit sosial. Bisnis yang baik selalu didasarkan pada hati nurani (yang baik). Hati nurani menuntun kita memilih yang baik, dan menghindari yang buruk. Empati menuntun kita untuk memperlakukan orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan (empati).  Ini sejalan dengan pepatah bijak, “jangan mencubit orang lain bila kita tidak ingin dicubit”. Audit sosial, atau penilaian oleh masyarakat, mensyaratkan bahwa suatu bisnis disebut baik bila menurut pendapat umum adalah baik. Masihkah kita punya hati nurani dan empati dan bisakah audit sosial berperan dalam pencegahan perilaku tidak beretika? Mari kita tegakkan bersama!

Supriyono
26 Desember 2018
Email: mediasi_konflik@yahoo.com