PROFITEERING
Profiteering
adalah suatu istilah untuk menggambarkan usaha mencari keuntungan secara
berlebihan, kadang dengan menghalalkan segala cara. Kata profit sendiri artinya
keuntungan atau laba. Prinsip ekonomi menegaskan bahwa bisnis ‘yang baik’
adalah bisnis yang memberikan banyak untung. Karena semata-mata mengejar untung
(profiteering), perusahaan seringkali
bertindak tidak etis. Agar biaya produksi murah, ada perusahaan yang menggunakan
tenaga kerja anak-anak, memberlakukan jam kerja panjang dan gaji rendah, atau
sistem kerja kontrak untuk menghindari tunjangan dan pesangon. Demikian pula, untuk
meningkatkan penjualan, sejumlah perusahaan menerapkan cara-cara promosi yang
tidak jujur. Ada toko yang menggunakan strategi ‘bait and switch’ yaitu merangsang calon pembeli dengan produk murah,
yang sebenarnya tidak tersedia, dan mendorong calon konsumen membeli produk lain
dengan harga lebih tinggi.
Sebenarnya perilaku
tidak etis juga sangat dekat dengan lingkungan kita. Kita sering ‘dipaksa’ mengikhlaskan
tidak diberi uang kembalian saat kita berbelanja di toko atau saaat mengisi
bahan bakar di SPBU karena tidak adanya uang kembalian dari selisih harga
pembelian. Dengan alasan pembulatan, sejumlah usaha memaksa kita
‘mengikhlaskan’ membayar sekian ratus rupiah lebih tinggi dari tagihan semestinya.
Memang jumlahnya kecil. Namun, tindakan ini tetap saja tidak patut dan
merupakan bibit korupsi. Rupanya,
perilaku koruptif sudah menjangkiti hampir semua bidang kehidupan sosial
ekonomi kita. Semuanya dilandasi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya!
Menurut Bertens
(2000), bisnis yang tidak melanggar hukum, belum tentu tidak melanggar moralitas.
Etika diperlukan untuk melengkapi hukum karena lima alasan: (a) hokum tidak
mengatur segala sesuatu, (b) hukum sering kalah cepat dari perkembangan bisnis;
(c) hukum selalu memiliki celah yang bisa disalahgunakan; (d) hukum sering
tidak ditegakkan; dan (e) ketentuan hukum seringkali memiliki multi-tafsir. Bisnis
yang beretika adalah bisnis yang taat pada peraturan atau hukum, transparan,
akuntabel, bertanggungjawab, wajar, jujur,
berempati, dan independen. Indikator ketaatan pada hukum dan aturan lebih mudah diukur dari undang-undang atau
hukum yang berlaku. Masalahnya, bagaimana kita bisa mengatakan suatu perusahaan
telah bersikap jujur, wajar, dan bertanggungjawab?
Oleh karena
itu, untuk menilai apakah suatu bisnis itu etis atau tidak, Bertens (2000)
mengemukakan tiga tolok ukur etika
bisnis: (a) hati nurani; (b) empati; dan (c) audit sosial. Bisnis yang baik
selalu didasarkan pada hati nurani (yang baik). Hati nurani menuntun kita
memilih yang baik, dan menghindari yang buruk. Empati menuntun kita untuk memperlakukan
orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan (empati). Ini sejalan dengan pepatah bijak, “jangan
mencubit orang lain bila kita tidak ingin dicubit”. Audit sosial, atau
penilaian oleh masyarakat, mensyaratkan bahwa suatu bisnis disebut baik bila
menurut pendapat umum adalah baik. Masihkah kita punya hati nurani dan empati
dan bisakah audit sosial berperan dalam pencegahan perilaku tidak beretika? Mari
kita tegakkan bersama!
Supriyono
26 Desember 2018
Email: mediasi_konflik@yahoo.com