Jumat, 28 Desember 2018

MORALITAS DAN HUKUM



MORALITAS, ETIKA, ETIKET DAN HUKUM
Supriyono

Moral, etika, dan etiket berlindan erat dengan hukum. Nilai-nilai moralitas terkandung dalam fungsi dan tujuan filosofis hukum yaitu keadilan.   Adagium Romawi kuno menegaskan quid leges sine moribus yang secara harafiah bermakna ‘apalah artinya hukum tanpa moralitas’. Moralitas punya peran cair, salah satunya dengan mengisi kekosongan hukum. Karena hukum tidak mengatur hal-hal yang sangat spesifik, maka moralitaslah yang kemudian mengaturnya. Orang menyontek saat ujian tidak akan dihukum tapi dilarang oleh nilai moral. Hukum juga tidak bisa berlaku universal, sehingga moral diandalkan untuk menjadi gawang kepatutan nilai-nilai kemanusiaan. Di Belanda etanasia (euthanasia) dibolehkan menurut hukum, sedangkan di Indonesia dilarang oleh hukum. Di Indonesia, selain dianggap melanggar hukum, etanasia juga dianggap tidak bermoral karena melanggar prinsip moral-teleologis. Melawan kehendak Tuhan. Sebaliknya di Belanda, etanasia dibolehkan oleh hukum dengan pertimbangan moral untuk mengakhiri penderitaan tak tertahankan.
Karena moral merupakan suatu nilai sosiologis-deontologis yang sangat abstrak dan sulit dikualifikasi, maka, orang menyusun ‘panduan moral’ yang selanjutnya disebut etika. Etika memandu kehidupan manusia agar sesuai dengan nilai-nilai moralis-utilitaris. Etika menuntun pada kebaikan bersama. Ada batas yang cukup jelas antara yang baik dan buruk. Orang bisa saja menyerobot antrian di jalan raya. Toh dia tidak menabrak kendaraan lain atau melukai pengendara lain. Bahkan mereka mengklaim sebagai pengendara yang terampil. Tapi orang-orang seperti itu telah melanggar batas-batas kepatutan dalam kehidupan sosial. Hukum tidak dilanggar, tetapi etika telah dilanggar. Orang juga boleh saja berpindah-pindah pekerjaan ke perusahaan yang menawarkan gaji atau upah lebih tinggi, dan tidak merasa bersalah dengan membawa informasi rahasia yang dimiliki oleh perusahaan lama tempatnya dulu bekerja. Secara hukum tidak ada yang salah. Tapi dia dibatasi oleh etika. Etika ini akan menimbulkan  rasa sungkan, rasa malu, dan bahkan rasa bersalah.
Tetapi, meski sudah bisa dikualifikasi, etika belum bisa dikuantifikasi sehingga sulit diaplikasikan dalam praksis. Maka, kemudian orang menyusun semacam ‘pedoman perilaku baku’ yang mudah diukur. Ini yang disebut etiket, yaitu serangkaian tata cara yang harus dipatuhi untuk memenuhi pantas tidaknya dalam melakukan sesuatu.  Etiket dimanifestasikan dalam Standard Operating Procedure (SOP), tata tertib, dan Kode Etik Code of Conduct). Meski etiket lebih merupakan tata laku prosedural mekanistik, tetapi sejatinya etiket merepresentasikan nilai-nilai etika dan bahkan moral. Bagaimana kita harus bertegur sapa dengan orang yang lebih tua adalah contoh etiket. Murid diajari beretiket baik pada guru. Etiket di jalan raya adalah berkendara dengan sopan. Dalam ranah hospitability  bahkan diajari table manner: sikap duduk waktu mau makan diatur. Bahkan posisi sendok dan garpu pun diatur karena mencerminkan sikap kita pada orang lain.
Demikianlah, ada saling hubungan antara moral-etika-etiket di satu sisi, dan hukum di sisi lain. Mereka saling berkelindan secara suplementer maupun komplementer; saling mengisi dan melengkapi. Kekosongan hukum bisa (salah satunya) diatasi dengan penerapan moralitas dan turunannya. Sebaliknya, moralitas dan turunannya bisa dikonkritkan dan dikuantifikasi dengan hukum.

Referensi:
Bertens, Kees, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1999
Velasques, Manuel G, Business Ethics – Concepts and Cases, London, Prentice Hall, 2006