MORALITAS, ETIKA, ETIKET DAN HUKUM
Supriyono
Moral, etika, dan etiket berlindan erat dengan hukum. Nilai-nilai moralitas
terkandung dalam fungsi dan tujuan filosofis hukum yaitu keadilan. Adagium Romawi kuno menegaskan quid leges sine moribus yang secara
harafiah bermakna ‘apalah artinya hukum tanpa moralitas’. Moralitas punya peran
cair, salah satunya dengan mengisi kekosongan hukum. Karena hukum tidak
mengatur hal-hal yang sangat spesifik, maka moralitaslah yang kemudian
mengaturnya. Orang menyontek saat ujian tidak akan dihukum tapi dilarang oleh
nilai moral. Hukum juga tidak bisa berlaku universal, sehingga moral diandalkan
untuk menjadi gawang kepatutan nilai-nilai kemanusiaan. Di Belanda etanasia
(euthanasia) dibolehkan menurut hukum, sedangkan di Indonesia dilarang oleh
hukum. Di Indonesia, selain dianggap melanggar hukum, etanasia juga dianggap
tidak bermoral karena melanggar prinsip moral-teleologis. Melawan kehendak
Tuhan. Sebaliknya di Belanda, etanasia dibolehkan oleh hukum dengan pertimbangan
moral untuk mengakhiri penderitaan tak tertahankan.
Karena moral merupakan suatu nilai sosiologis-deontologis yang sangat
abstrak dan sulit dikualifikasi, maka, orang menyusun ‘panduan moral’ yang
selanjutnya disebut etika. Etika memandu kehidupan manusia agar sesuai dengan
nilai-nilai moralis-utilitaris. Etika menuntun pada kebaikan bersama. Ada batas
yang cukup jelas antara yang baik dan buruk. Orang bisa saja menyerobot antrian
di jalan raya. Toh dia tidak menabrak kendaraan lain atau melukai pengendara
lain. Bahkan mereka mengklaim sebagai pengendara yang terampil. Tapi
orang-orang seperti itu telah melanggar batas-batas kepatutan dalam kehidupan
sosial. Hukum tidak dilanggar, tetapi etika telah dilanggar. Orang juga boleh
saja berpindah-pindah pekerjaan ke perusahaan yang menawarkan gaji atau upah
lebih tinggi, dan tidak merasa bersalah dengan membawa informasi rahasia yang
dimiliki oleh perusahaan lama tempatnya dulu bekerja. Secara hukum tidak ada
yang salah. Tapi dia dibatasi oleh etika. Etika ini akan menimbulkan rasa sungkan, rasa malu, dan bahkan rasa
bersalah.
Tetapi, meski sudah bisa dikualifikasi, etika belum bisa dikuantifikasi
sehingga sulit diaplikasikan dalam praksis. Maka, kemudian orang menyusun
semacam ‘pedoman perilaku baku’ yang mudah diukur. Ini yang disebut etiket,
yaitu serangkaian tata cara yang harus dipatuhi untuk memenuhi pantas tidaknya
dalam melakukan sesuatu. Etiket
dimanifestasikan dalam Standard Operating Procedure (SOP), tata tertib, dan
Kode Etik Code of Conduct). Meski etiket lebih merupakan tata laku prosedural
mekanistik, tetapi sejatinya etiket merepresentasikan nilai-nilai etika dan
bahkan moral. Bagaimana kita harus bertegur sapa dengan orang yang lebih tua
adalah contoh etiket. Murid diajari beretiket baik pada guru. Etiket di jalan
raya adalah berkendara dengan sopan. Dalam ranah hospitability bahkan diajari
table manner: sikap duduk waktu mau
makan diatur. Bahkan posisi sendok dan garpu pun diatur karena mencerminkan
sikap kita pada orang lain.
Demikianlah, ada saling hubungan antara moral-etika-etiket di satu sisi,
dan hukum di sisi lain. Mereka saling berkelindan secara suplementer maupun
komplementer; saling mengisi dan melengkapi. Kekosongan hukum bisa (salah
satunya) diatasi dengan penerapan moralitas dan turunannya. Sebaliknya,
moralitas dan turunannya bisa dikonkritkan dan dikuantifikasi dengan hukum.
Referensi:
Bertens, Kees,
Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1999
Velasques, Manuel
G, Business Ethics – Concepts and Cases, London, Prentice Hall, 2006
email: mediasi_konflik@yahoo.com