Minggu, 21 November 2010

PERANGKAP PERJANJIAN BAKU



TERPERANGKAP DALAM PERJANJIAN BAKU


A. Latar Belakang
Saat kita memarkir kendaraan di gedung parkir, kita mendapati tulisan ”Kerusakan atau kehilangan barang dan kendaraan bukan tanggungjawab pengelola.” Di rak barang pecah belah supermarket tertera tulisan “Pecah berarti membeli.” Dan masih banyak lagi tulisan-tulisan yang ditetapkan sepihak oleh pelaku usaha untuk melindungi kepentingan mereka. Tulisan-tulisan seperti itu disebut klausula baku.
Klausula baku sudah disiapkan sedemikian rupa oleh pelaku usaha yang bersifat mengikat tanggungjawab pihak lain. Model ini banyak digunakan dalam bidang pembiayaan kredit kendaraan atau elektronik, utang-piutang, investasi, dan sebagainya. Klausula baku banyak mengandung kelemahan yang meliputi tampilan fisiknya, proses pembuatannya, maupun proses penandatanganannya. Perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha seringkali menggunakan huruf yang terlalu kecil, yang dicetak dengan warna yang kabur, menggunakan kalimat yang panjang dan istilah yang sulit dipahami. Di sisi lain konsumen sering tergesa, tidak cermat, atau tidak sepenuhnya memahami isi kontrak. Dan tak seringkali juga terjadi permasalahan eksternal pada saat penandatanganan surat perjanjian juga turut berpengaruh timbulnya permasalahan ini seperti ruangan yang gelap, tempat tidak nyaman, dsb.
Klausula baku disiapkan oleh pelaku usaha dengan pertimbangan efisiensi dan standardisasi. Bagi pelaku usaha, cara seperti menghemat banyak waktu, tenaga, dan uang karena mereka bisa mencetak lembar perjanjian dalam jumlah besar sekaligus, dan petugas pelaksana tinggal menyodorkannya kepada konsumen. Dengan format yang standar, staf perusahaan juga bisa lebih mudah memahami dan menguasai isi perjanjian. Tapi konsumen banyak dirugikan, karena klausula baku ditentukan sepihak oleh pelaku usaha sehingga konsumen harus menerima segala akibat yang ditimbulkannya.

B. Perspektif Hukum
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pasal 8 ayat 1 huruf a sampai g melarang penggunaan klausula baku yang:
a.menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan / atau jasa yang dibeli konsumen;
d.menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan
dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli konsumen;
f.memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yan gmenjadi obyek jual beli jasa;
g.menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau penguahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam
masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
Dengan demikian klausula baku yang dibuat pengelola parkir yang dikemukakan diatas melanggar UUPK No. 8 tahun 1999 Pasal 18 Ayat (1) Huruf (a), sedangkan klausula baku yang mengharuskan konsumen membeli barang yang tidak sengaja dipecahkannya melanggar Huruf (e).
Sanksi perdata bagi penggunaan dokumen atau perjanjian yang melanggar larangan penggunaan klausula baku Pasal 18 ayat (1) adalah bahwa perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum, sedangkan sanksi pidananya adalah penjara pidana paling lama 5 (lima tahun).

C. Perspektif Etika
Bertens (2000) mengatakan bahwa dari sudut pandang etika, klausula baku tidak mengindahkan syarat sahnya kontrak yaitu (a) kepahaman atas isi kontrak; (b) kepahaman atas fakta produk; dan (c) kesadaran atau kerelaan dalam berkontrak. Banyak konsumen tidak bisa benar-benar memahami isi kontrak karena menggunakan istilah yang tidak lazim, bahasa yang panjang, huruf yang terlalu kecil dan tidak kontras dengan warna kertasnya, dan sebagainya. Terlebih lagi dalam menandatangani kontrak, suasananya kurang mendukung bagi terpenuhinya prinsip kesadaran dan kerelaan berkontrak. Dia menganjurkan agar dalam berkontrak konsumen menganut prinsip ”caveat emptor” (hendaklah konsumen berhati-hati) dan ”caveat venditor” (hendaklah penjual berhati-hati). Pedoman pertama, yang merupakan inti Teori Kontrak menyiratkan bahwa konsumen harus berhati-hati dengan kemungkinan adanya kecurangan dari pembuat kontrak. Pedoman kedua, yang berasal dari ”Teori Tindakan Semestinya”, mensyaratkan agar pelaku usaha bertindak patut dengan memperhatikan hak-hak dan kepentingan konsumen.
Tentunya klausula baku akan lebih adil bila mengikuti aturan hukum dan norma etika yang dikemukakan diatas. Sangat relevan juga bila kita memperhatikan yang dikatakan oleh John F. Kennedy pada kepada Kongres tentang pentingnya memenuhi hak-hak konsumen yaitu:
(1) hak akan keselamatan,
(2) hak untuk diberitahu (mengetahui),
(3) hak untuk memilih, dan
(4) hak untuk didengarkan.
Sudahkah klausula baku sudah memperhatikan hak-hak dan kepentingan konsumen seperti itu?


Yogyakarta, Oktober 2008
Supriyono