Minggu, 21 November 2010

MERENGKUH SIMPATI DENGAN EMPATI


Bisnis selalu terkait dengan persoalan ekonomi, etika, dan hukum. Bisnis berlangsung sebagai suatu komunikasi sosial yang menguntungkan keduabelah pihak yang terlibat. Selama ini banyak orang memandang etika dari perspektif normatif yang tidak memberikan imbal ekonomis apa pun. Etika lebih sering dipandang sebagai biaya sosial dan bukan sebagai investasi sosial atau aset strategis bagi kelangsungan suatu usaha .
Dari kacamata normatif, tindakan kita selalu dibatasi dengan etika. Kepentingan pihak lain juga harus dihormati. Alasan ekonomis tidak pernah boleh membenarkan pelanggaran tata kelola usaha. Karena itu, pengawasan praktik bisnis diperlukan untuk menjamin terwujudnya hak-hak sosial ekonomi warga masyarakat berupa pelayanan usaha yang baik, berkualitas, profesional, dan proporsional berdasarkan asas keadilan, kepastian hukum, dan kesamaan.
Dari sudut pandang strategi, etika usaha bisa menciptakan keunggulan kompetitif yang sulit ditiru. Perusahaan yang berlaku etis pada dasarnya telah melakukan empat hal sekaligus: (a) membangun citra yang baik, (b) meningkatkan daya saing, (c) mengurangi risiko komplain, dan (d) menjalankan strategi promosi murah yang bermuara pada kesetiaan pelanggan dan peningkatan keuntungan dalam jangka panjang. Sebagai contoh, Johnson & Johnson (J&J) secara sukarela menarik puluhan juta botol Tylenol dari pasaran setelah 7 orang mati keracunan sianida dari produk itu. Setelah melalui penyelidikan, penyebabnya adalah ada pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Setelah merasa yakin dengan keamanan produknya, J&J kembali mengumumkan pemasaran kembali produk itu. Dan segera produk itu merajai pasar kembali.
Di waktu lain karena prihatin dengan penyakit ‘river blindness’ yang menimpa sekitar 18 juta penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin, Merck and Company yang memproduksi obat-obatan untuk hewan, tergerak untuk mendanai riset, memproduksi, dan mendistribusikan obat secara gratis untuk membantu meringankan penderitaan mereka. Keputusan ini jelas tidak segaris dengan tujuan mendatangkan keuntungan. Tapi para manager telah sepakat bahwa keuntungan manusiawi tak boleh diabaikan. Berjuta orang bisa diselamatakan dari kebutaan. Dan Merck akan dikenal sebagai perusahaan yang peduli pada masyarakt.
Kedua perusahaan itu telah belajar bahwa etika bukan biaya sosial, tapi suatu investasi atau bahkan suatu aset yang sangat strategis bagi pengembangan usaha. Mereka telah merengkuh hati para konsumen dan calon konsumen dengan menerapkan etika dalam usaha. Sekarang saatnya memenangkan persaingan usaha dengan mempengaruhi “heartshare”, dan tidak sekedar mempengaruhi pikiran “mindshare”, atau berpikir semata menguasai pasar “market share”. Kita bisa merengkuh simpati dengan bisnis yang berempati.

Supriyono