Etika adalah seperangkat nilai kebaikan yang menjadi pedoman manusia dalam bertindak agar pantas dan patut, memuliakan martabat manusia, dan menjunjung tinggi hakikat kemanusiaan. Kita disebut beretika bila (a) Kita mengikuti hati nurani (yang bersih); (b) Kita berempati pada keadaan orang lain; dan (c) Yang kita lakukan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (audit sosial) (Kees Bertens).
Minggu, 21 November 2010
MEMBERDAYAKAN KONSUMEN
Konsumen yang Nirdaya
Posisi konsumen yang lemah (nirdaya) membuat konsumen mudah menjadi korban kecurangan pelaku usaha yang nakal. Pembeli sering dirugikan karena terbatasnya pengetahuan tentang produk yang ditawarkan penjual. Karena mengetahui seluk-beluk produk yang dijualnya, penjual berusaha menonjolkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan produk yang dijualnya. Sebaliknya pembeli yang tidak tahu tentang kualitas produk, apalagi cacat atau kelemahan yang melekat, sangat rentan terhadap kerugian karena membeli produk yang tidak baik. Selain itu, konsumen juga rentan terhadap praktik usaha yang curang seperti yang terjadi dalam perikatan pembelian secara angsuran. Pembeli diikat dengan ‘perjanjian’ yang isi dan prosesnya ditentukan sepihak oleh pelaku usaha. Juga, konsumen berisiko menjadi korban promosi yang tidak jujur.
Potret Kasus
Kerugian konsumen bisa terjadi pada hampir semua transaksi. Konsumen kesehatan (pasien) bisa menjadi korban malpraktik kedokteran. Nasabah bank dan lembaga pembiayaan bisa terjebak pada ‘perjanjian baku’ yang memuat syarat-syarat yang sangat berat dan penagihan yang kasar serta sewenang-wenang. Pembeli rumah bisa rugi karena rumah yang ditempatinya ternyata keropos, bocor, dan sanitasinya buruk. Peserta didik lembaga pendidikan bisa menjadi ‘sapi perah’ atau ‘tambang uang’ bagi pengelola, karena harus membayar biaya-biaya yang tak pernah terduga sebelumnya.
Meski konsumenkeberatan, solusinya sering tidak memuaskan. Bahkan banyak konsumen tidak tahu bahwa hak-hak mereka telah dilanggar. Kalaupun sadar adanya pelanggaran, mereka tidak tahu kemana harus mengadu, dan bagaimana cara mengadunya.
Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen menjadi isu penting belakangan ini. Cara yang paling efektif adalah menciptakan konsumen yang cerdas dan bijaksana. Konsumen yang cerdas akan mampu melindungi dirinya dari muslihat pelaku usaha yang curang. Bijaksana artinya konsumen mampu menentukan prioritas pembelian dengan memperhatikan kemampuan finansialnya. Hal ini penting karena konsumen yang konsumtif cenderung kurang cermat dalam menakar daya belinya. Dalam kasus pembelian secara angsuran, sebagian besar kasus wanprestasi bermula dari kebiasaan konsumtif ini.
Melindungi konsumen berarti membuat konsumen sadar risiko transaksi, sebagaimana yang didesakkan oleh gerakan konsumerisme yang dipelopori oleh Ralph Nader. Gerakan ini memperjuangkan keberdayaan konsumen terhadap bahaya yang mengintai akibat perilaku usaha yang curang. Secara kategoris, gerakan konsumerisme menyoroti tiga risiko penyimpangan usaha, yaitu: produk yang buruk; iklan atau promosi yang menyesatkan; dan praktik bisnis yang curang.
Melindungi konsumen juga berarti menumbuhkan kesadaran hak pada konsumen sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu hak atas keamanan dan keselamatan, hak atas informasi yang benar, hak untuk memilih, hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan lain-lain.
Sebagai konsumen kesehatan, pasien berhak tahu penyakitnya, meminta pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan (perawatan) sesuai kebutuhan saja, dan mengetahui rekam medisnya. Konsumen lembaga pembiayaan berhak mendapatkan informasi tentang akibat hukum yang timbul dari transaksi tersebut, khususnya apabila konsumen gagal-bayar. Banyak konsumen tidak tahu bahwa dibalik ‘kemudahan’ yang ditawarkan, banyak ‘hukuman’ tersembunyi mengintai konsumen yang gagal-bayar. Maka, sudah seharusnya konsumen waspada dalam setiap transaksi. Perlu diingat nasehat kuno: “hendaklah pembeli berhati-hati” (caveat emptor).
Supriyono