Minggu, 26 Mei 2019

Terjemahan Istilah Hukum


TERJEMAHAN ISTILAH HUKUM
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM

Untuk maksud yang sama, penerjemah hukum bisa saja menggunakan istilah yang berbeda. Bahkan para ahli hukum pun bisa menggunakan terminologi yang mereka anggap paling tepat untuk menamakan suatu konsep hukum. Sebagai contoh  kata dari bahasa hukum Belanda strafbaarfeit diterjemahkan berbeda-beda menjadi peristiwa pidana, perbuatan pidana, atau tindak pidana. Bahkan bisa dibilang ada fanatisme penggunaan istilah berlatar belakang guru besar atau universitas dimana istilah tersebut dipopulerkan.
Problem Terjemahan Hukum? Hubungi 081802770167
Bagaimanapun juga, bahasa hukum tetap harus tunduk pada hukum bahasa. Istilah tertentu dianggap lebih populer sehingga lebih dipilih sebagai padan makna terjemahan bahasa hukum asing. Maka, meski ada bermacam hasil terjemahan dari istilah strafbaarfeit misalnya, yang banyak dianut adalah ‘tindak pidana’, bukan ‘peristiwa pidana’ atau ‘perbuatan pidana’.
Dalam Kamus Hukum terjemahan Prof. Subekti dan R. Tjitrosudibio ‘verbintenis’ diterjemahkan ‘perikatan’ berbeda pengertian dengan ‘overeenkomst’ yang diterjemahkan ‘persetujuan’, meski istilah hukum yang lebih populer adalah ‘perjanjian’. Maka, meski kata ‘persetujuan’ tetap dijumpai di Kamus Hukum tersebut, kita maklum bahwa yang dimaksud adalah ‘perjanjian’.
Bagaimana cara memahami suatu istilah hukum? Cara pertama adalah dengan mengetahui filosofi hukumnya. Kita patut menduga bahwa strafbaarfeit diterjemahkan menjadi peristiwa pidana karena berangkat dari filosofi yang berbeda dengan perbuatan pidana dan tindak pidana. Bagaimanapun ‘mortgage’ yang kita kenal dalam sistem Anglo Sakson tidak otomatis sama dengan konsep ‘hipotek’ dalam sistem hukum Indonesia. Cara kedua adalah dengan memperhatikan penerimaan yang lazim dalam doktrin hukum. Kita harus tahu bahwa ‘oneerlijke concurrentie’ atau ‘unfair competition’ sudah lazim diterjemahkan menjadi ‘persaingan curang’. Anehnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menerjemahkannya ‘persaingan tidak sehat’. Cara ketiga adalah dengan efisiensi bahasa dalam  teknik hukum. Bahasa hukum haruslah ringkas dan padat, terhindar dari kemubaziran struktur maupun kosa kata. Sayangnya, sebagai produk politik, warna politik dalam bahasa hukum lebih kentara dalam perbendaharaan hukum positif kita. Pernah terjadi pergulatan politik antara penggunaan istilah ‘serikat pekerja’ atau ‘serikat buruh’ dalam di UU Ketenagakerjaan.  Karena kedua-duanya dianggap tepat, maka setiap frasa ‘serikat pekerja’ ditulis bersamaan (dengan garis miring) dengan frasa ‘serikat buruh’. Tentu ini pemborosan dan tidak sesuai dengan teknik hukum.
Kini  saatnya menegakkan konsistensi atau pembakuan istilah agar memudahkan para pembelajar ilmu hukum. Penggunaan istilah secara konsisten juga bisa menghindarkan kita dari kekaburan esensi hukum. Semua istilah hukum dalam hukum positif Indonesia haruslah semakin mudah dibaca (readable) dan semakin mudah dipahami (understandable) bagi subjek hukum domestik maupun subjek hukum asing. Dengan campur tangan negara, kita bisa mencegah liarnya hasil terjemahan hukum supaya kelak, misalnya, tidak muncul hasil terjemahan yang membingungkan berupa “unhealthy competition” yang dianggap sepadan dengan istilah “oneerlijke concurrentie'” atau “unfair competition””.

Sumber: Shidarta, 2015; Hadikusuma, 2010