Rabu, 24 November 2010

APA ITU OMBUDSMAN?

Sejarah
Ombudsman adalah organisasi yang dibentuk pemerintah untuk mengawasi dan mendorong penegakan tata kelola pelayanan publik. Istilah ‘ombudsman’ ini awalnya dipakai di Skandinavia, tepatnya di Swedia (jaman Raja Charles II) yang bertugas melakukan pengecekan dan pengimbangan (check and balance) terhadap Raja dan Pejabat Kerajaan pada saat itu. Meski namanya berasal dari Swedia, tapi model penanganan yang menyerupai Ombudsman sudah muncul jauh sebelumnya. Brian Gilling (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 221 di Jaman Dinasti Ts’in, di Cina telah diterapkan Yu-shih yang berarti ‘censorate’ atau ‘pengawas’ atau ‘penyensor’. Tugas utamanya adalah mengawasi pejabat kerajaan dan menjadi penghubung bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan, atau keluhan kepada Kaisar. Di Taiwan, model seperti itu dinamai ‘Control Yuan’. Di Arab, Khalifah Umar bin Khatab (634-644) membentuk ‘Qadi al Qadat’ (Ketua Hakim Agung) untuk membela publik dari perbuatan birokrasi yang sewenang-wenang. Sementara itu di Turki pada abad ke 16-17 pada masa Sultan Ahmed III dibentuklah Kantor Hakim Agung Turki untuk memastikan bahwa hukum Islam dipatuhi oleh seluruh penyelenggara Negara, termasuk Sultan (Gottehrer, 2000). Raja Charles II dari Swedia, yang berkawan dengan Sultan Ahmad III dari Turki, mendapatkan inspirasi membentuk lembaga yang dikemudian hari dinamakan Ombudsman.

Menurut kamus Oxford, Ombudsman adalah pejabat yang ditunjuk pemerintah untuk menyelidiki keluhan publik terhadap otorias pelayanan publik dan melaporkannya. Secara umum Ombudsman bertugas mengelola keluhan dari masyarakat untuk ditindaklanjuti sesuai dengan tahapan-tahapan yang diperlukan, dan diakhiri dengan pembuatan rekomendasi perbaikan. Dalam perkembangannya Ombudsman tidak hanya menerima pengaduan atau laporan, tapi juga proaktif dalam mengidentifikasi permasalahan khususnya yang berimbas pada masyarakat banyak, berskala luas atau besar, dan bersifat mendesak untuk segera ditindaklanjuti. Artinya, Ombudsman juga berinisiatif untuk memberikan pendapat atau rekomendasi atas isu-isu yang aktual dengan tujuan perbaikan tata kelola pelayanan publik baik oleh pemerintah maupun oleh sektor swasta. Lembaga ini juga menyebarkan ajakan dan himbauan pada para pelaku usaha agar mengelola bisnis secara etis. Cara yang ditempuh diantaranya adalah dengan mengajak mereka terlibat dalam diskusi, seminar, atau sarasehan tentang nilai-nilai etika.
Ombudsman bisa dibentuk oleh siapa saja, baik itu pemerintah maupun sektor swasta. Lembaga Ombudsman yang dibentuk oleh pemerintah biasanya menggunakan dana APBN (tingkat pusat) atau APBD (tingkat daerah) sementara Ombudsman yang dibentuk oleh pihak swasta biasanya didanai oleh lembaga yang membentuknya dan atau dari donatur atau sponsor. Cakupan kewenangannya pun bis beragam. Ada yang khusus mengawasi layanan publik oleh pemerintah, atau oleh swasta, atau dua-duanya. Kadang-kadang asosiasi usaha juga membentuk Ombudsman (misalnya Ombudsman Properti), yang bertugas menegakkan pengawasan etika usaha semua perusahaan yang menjadi anggotanya. Namun, ada pula sebuah perusahaan membentuk Ombudsman sendiri untuk pengawasan tata kerja internal (misalnya Ombudsman Kompas).
Bila dipilah lebih lanjut, ada beberapa pembedaan Ombudsman. Berdasarkan lembaga yang membentuknya, Ombudsman bisa dibedakan menjadi
(a) Ombudsman Parlementer yang dipilih oleh dan bertanggungjawab pada parlemen dan
(b) Ombudsman Eksekutif yang dipilih oleh dan bertanggungjawab pada eksekutif.
Menurut cakupan pelayanannya, ada
(a) Ombudsman Publik yang dibentuk oleh institusi publik untuk mengawasi proses pemberian pelayanan umum bagi masyarakat;
(b) Ombudsman Swasta yang dibentuk oleh institusi swasta untuk mengawasi secara internal proses pelayanan umum perusahaan swasta pada konsumennya. Contohnya Ombudsman Perbankan.


Ombudsman di Indonesia
Gerakan bagi terwujudnya good governance di Indonesia salah satunya ditandai dengan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional (KON) melalui Keputusan Presiden No. 44 tahun 2000. Kelahiran lembaga ini melengkapi lembaga-lembaga lain yang sama-sama bergerak dalam bidang pengawasan pelayanan publik seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan lembaga-lembaga pengawasan fungsional dan struktural seperti Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP), Kantor Inspektorat, Pengawasan Melekat, dan Kotak Pos 5000. Selanjutnya, pada tahun 2008, diterbitkanlah Undang-Undang No. 37 tahun 2008 yang menjadi dasar hukum bagi pembentukan Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Tujuan pembentukan lembaga ini adalah untuk membela kepentingan publik dengan mendesakkan perubahan mental dan kultural dalam birokrasi. Pendirian lembaga ini seolah menjadi ironi bagi kinerja lembaga-lembaga lain yang bergerak dalam bidang-bidang pengawasan pelayanan publik yang sejenis, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Fakta memang menunjukkan, pelayanan publik yang baik seolah menjadi barang yang mewah bagi masyarakat, khsusunya rakyat miskin karena maraknya fenomena bahwa pelayanan yang baik bisa didapatkan dengan membayar sejumlah uang.
Ruang lingkup kerja Ombudsman Republik Indonesia adalah seluruh wilayah di Republik Indonesia. Untuk memperluas jangkauan pelayanan sampai ke daerah, Ombudsman Republik Indonesia juga membuka kantor-kantor perwakilan di sejumlah daerah, salah satunya di Yogyakarta. Keberadaan kantor perwakilan ORI di daerah ini menjadi jembatan bagi masyarakat di DIY yang ingin mengadukan permasalahannya kepada ORI terkait dengan dugaan maladministrasi oleh birokrasi pemerintah pusat, badan usaha milik negara, dan kegiatan usaha yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ombudsman di DIY
Dalam rangka mendorong perbaikan pelayanan publik, Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membentuk Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) dengan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 134 tahun 2004 dan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) dengan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 135 tahun 2004. Landasan hukum kedua lembaga ini ditingkatkan dengan Peraturan Gubernur DIY No. 21 tahun 2008 untuk LOD dan Peraturan Gubernur DIY No. 22 tahun 2008 untuk LOS. Kedua lembaga ini bersifat non-struktural, artinya tidak masuk dalam struktur pemerintahan daerah. Operasi lembaga dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
LOD bertugas mendorong terwujudnya pelayaanan publik yang berkualitas baik oleh aparat birokrasi pemerintah di wilayah DIY, sedangkan LOS bertugas mendorong terwujudnya tata kelola sektor usaha swasta yang beretika dan berkelanjutan. Masyarakat yang mengalami atau melihat pelanggaran hak-hak publik untuk memperoleh pelayanan yang baik dari pemerintah daerah (pelayanan berlarut dan ditunda-tunda, pungutan liar, pejabat tidak cakap dan tidak bertanggungjawab, dll.) bisa melaporkannya ke LOD. Di sisi lain, bila masyarakat merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil, tidak professional, tidak bertanggungjawab oleh pelaku usaha swasta (badan usaha swasta dan sektor informal) seperti yayasan, perseroan terbatas, CV, koperasi, firma, perusahaan perseorangan, dan lain-lain, bisa mengadukan kasusnya kepada LOS.
Keberadaan lembaga ombudsman di daerah yang inisiatif pendiriannya oleh daerah ini diharapkan bisa lebih akomodatif bagi kepentingan publik di daerah dan lebih mampu memetakan masalah di daerah. Lembaga ini juga berkoordinasi dan bersinergi dengan kantor perwakilan ORI di daerah dalam penanganan kasus sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
Secara khusus, Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) dan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) Daerah Istimewa Yogyakarta menjalin koordinasi dan komunikasi yang baik karena sama-sama dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur DIY. Selain itu koordinasi dan komunikasi juga dibangun dengan lembaga-lembaga lain yang terkait yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Lembaga Konsumen Indonesia di Yogyakarta, maupun kantor perwakilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di Yogyakarta.

Yogyakarta, 12 Desember 2008
supriyono.suroso@yahoo.com