MALPRAKTIK MEDIS?



Menuju Relasi Medis yang Lebih Berkeadilan 
https://bisnisberetika.blogspot.com


Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 h dan Konstitusi WHO (1948) serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa  kesehatan adalah hak asasi setiap warga. Maka setiap individu berhak memperoleh perlindungan kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur terpenuhinya hak hidup sehat bagi penduduknya.
Layanan kedokteran merupakan layanan yang sangat vital. Dalam bekerja dokter (dan dokter gigi) dipayungi oleh kode etik kedokteran (internal), dan UU No. 29 tahun 1999 tentang Praktek Kedokteran. Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk. Risiko bisa diterima apabila risiko minimal, probabilitasnya kecil, alasan kedaruratan, keterbatasan sumberdaya, nilai manfaat yang tak tergantikan, dan yang tak bisa dihindari atau dicegah, serta risiko yang tak terduga, sepanjang sudah diinformasikan dengan baik dan benar kepada pasien dan sudah mendapatkan persetujuan (informed consent). Namun, pasien tetap dapat menggugat dokter  apabila dalam pelaksanannya ternyata terdapat kesalahan atau kelalaian (malpraktik).
World Medical Association (1992) mendefinisikan malpraktik medis sebagai perbuatan dokter yang meliputi kegagalan memenuhi standar dalam penanganan kondisi pasien, atau kekurangterampilan / ketidakompetesian, atau karena kelalaian dalam memberikan asuhan kedokteran kepada pasien, yang merupakan penyebab langsung dari cedera pada pasien. Kelalaian terjadi karena seseorang melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) yang seharusnya dilakukan  oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Malpraktik medis  bisa dibagi menjadi (a) malpraktik etika dan (b) malpraktik yuridis.  Malpraktik yuridis terdiri dari malpraktik perdata, malpraktik pidana, dan malpraktik adminstratif. Malpraktik etika terjadi ketika doker melanggar kode etika kedokeran. Dokter melakukan malpraktik perdata bila melakukan wanprestasi. Malpraktik pidana terjadi ketika pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat kelalaian dokter, sedangkan kelalaian adminstratif terjadi karena dokter tidak memiliki ijin praktik, praktik tidak sesuai lisensi,  ijin yang kadaluwarsa, dan tidak membuat rekam medis.

Perbedaan Persepsi
Ada perbedaan pandangan antara dokter yang menjual ‘ikhtiar’ (inspanning verbentenis) dan pasien yang mengharap ‘hasil’ (resultant verbentenis).  Dalam perspektif dokter,  mereka memberikan ‘upaya’ (therapeutic) sedangkan pasien memandang bahwa dokter harus bertanggungjawab atas hasil tindakan medisnya, apalagi bila terjadi kejadian yang tidak diinginkan (adverse event). Kejadian yang tidak diinginkan tidak selalu merupakan malpraktik. Malpraktik selalu didahului oleh ‘error’ (kesalahan) diagnosis, kesalahan pengobatan, tidak melakukan pencegahan, dan kesalahan lain-lain seperti kesalahan komunikasi.
Dalam tugas pokoknya untuk mempertahankan kehidupan dan mengurangi penderitaan, dokter mengambil tindakan-tindakan yang sesuai dengan keahliannya, sumpah profesi, dan hukum serta peraturan yang berlaku. Namun kesalahan dan kelalaian bias saja terjadi. Ada empat macam pelanggaran yang mungkin diakukan oleh dokter: etika (sanksi diberikan oleh MKEK); disiplin (sanksi oleh MKDKI);  administrasi (ditertibkan oleh dinas atau departemen kesehatan); dan hukum (penegak hukum, mediator, arbitrator).


Hak dan Kewajiban
Pasien berhak mendapatkan informasi yang benar, mencari ‘second opinion’,  mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan, dan  mengetahui rekam medisnya. Sebaliknya, pasien berkewajiban memberikan informasi yang benar, mematuhi nasehat dokter dan ketentuan yang berlaku, dan memberikan imbalan jasa medis.
Di sisi lain dokter berhak mendapatkan perlindungan hukum, menerapkan standar profesi atau SOP, memperoleh informasi lengkap dan jujur tentang pasien, dan menerima imbalan jasa (pasal 50 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Kewajiban dokter adalah memberi layanan medis dengan standar profesi atau SOP, sesuai dengan kebutuhan pasien, merujuk pasien pada dokter lain yang lebih mampu,  menjaga rahasia pasien, memberi pertolongan darurat, menambah ilmu (pasal 51 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).

Menuju Kesepahaman
Diperlukan kesepahaman tentang definisi malpraktik medis, indikator-indikatornya, otoritas yang berwenang menanganinya, dan sanksi yang diberikan. Karena istilah malpraktik sendiri tidak termuat dalam kitab hukum apa pun, maka agak sulit mengkaitkan pelanggaran medis ini dengan sanksi hukum yang tepat. Kewajiban kita bersama untuk mendorong agar dokter memperhatikan kesejahteraan pasien (caveat vendor). Sifat kritis proporsional konsumen pun tetap diperlukan untuk mendesakkan profesionalisme para dokter (caveat emptor). 

Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM