PUNGLI PARKIR


PUNGLI  PARKIR 
https://gayabahasa.com
Seorang ibu pengguna jasa parkir protes pada penjaga parkir yang memungut jasa parkir Rp. 2.000,- , padahal mestinya hanya Rp. 1.000,- seperti yang tertera di karcis parkir. Si tukang parkir pun tak kalah garangnya, mengatakan parkir di “tempat khusus” memang segitu. Cerita lain, seorang mahasiswa harus membayar biaya parkir Rp. 1.000,-, padahal dia hanya perlu memfotokopi Rp. 300,- . Lebih mahal biaya parkirnya yang hanya 5 menit. Itu pun di halaman toko fotokopi. Lebih ‘heboh’ lagi, di tempat-tempat wisata,  biaya parkir  yang dipungut oleh ‘komunitas’ atau ‘paguyuban’ bisa lebih tinggi lagi.
Meski sebenarnya sudah ada payung hukum retribusi parkir,  yang selanjutnya tertera pada papan-papan tarif retribusi parkir di tempat-tempat parkir resmi, dengan karcis parkir resmi, dan oleh petugas parkir resmi pula, pelanggaran masih juga terjadi. Kata ‘resmi’ disini merujuk pada pengertian tempatnya sudah ditentukan, tarifnya sudah ditetapkan, dan petugasnya pun mengantongi ijin dari pemerintah daerah. Tapi masalahnya, banyak tempat parkir tidar resmi (yang tidak menyetorkan sebagian pendapatannya ke pemerintah daerah), oleh tukang parkir ‘unauthorized’ (yang tiba-tiba dan baru muncul saat memungut ‘uang jasa’), dengan karcis yang tidak resmi (karcis bekas, karcis buatan sendiri, atau bahkan tanpa karcis sama sekali). 

Pungli di Akar Rumput
Mengutip biaya di luar atau lebih dari yang ditentukan adalah pungutan liar (pungli). Pungli adalah salah satu bentuk penyakit kronis dan endemis yang disebut korupsi di masyarakat kita. Disebut kronis karena sudah menjadi ‘penyakit menahun’, sehingga seolah menjadi suatu kewajaran. Disebut endemis karena dilakukan bukan oleh pejabat politik maupun pemerintahan dalam skala milyaran (atau bahkan trilyunan), tapi juga oleh ‘rakyat kecil’ , termasuk tukang parkir, di mana-mana.  Korupsi melalui pungli di tempat parkir  tak kalah dengan pungli oleh para pejabat pemerintah maupun pejabat politik di sarang-sarang korupsi.  Meski hanya dengan skala dan nominal kecil,  pungli oleh ‘rakyat kecil’ ini sama menyengsarakannya dengan korupsi oleh koruptor kakap. Uang seribu rupiah yang dikutip oleh tukang parkir jelas sangat memberatkan ‘rakyat kecil’ lain yang menggunakan jasa parkir.  Lagi pula kadang pungli parkir juga tidak rasional. Untuk belanja Rp. 500,- di sebuah toko kecil, dipungut biaya parkir Rp. 1.000,-. Keluarga yang mencari ‘hiburan’ di ruang publik (karena diyakini gratis), ternyata justru dipungut pungli parkir. Ada dualisme pemahaman parkir yang dijadikan legitimasi oleh para tukang parkir. Di satu sisi sebagai retribusi parkir (yang artinya tukang parkir sebagai pengumpul ‘pajak’ parkir pemerintah).  Parkir jenis ini biasanya di pungut di jalan-jalan besar. Di sisi lain sebagai penjaga keamanan kendaraan. Tetapi, apa pun argumennya, dua hal itu sering menjadi sumber kecurangan. Kecurangan dalam kategori pertama diantaranya adalah: tukang parkir mengutip ongkos lebih tinggi, menggunakan karcis bekas, atau bahkan tanpa karcis sama sekali. Kecurangan dalam kategori kedua adalah  ‘tukang parkir’ yang  hanya mengutip uang parkir, dan tidak menjalankan fungsi mengamankan. Bagaimana mereka bisa disebut berjasa mengamankan kalau sepeda motor diparkir di depan toko hanya 5 menit, dan si pemilik pun tetap menungguinya?
Bolehlah ada argument bahwa keberadaan tukang parkir itu mengurangi pengangguran, meningkatkan taraf ekonomi keluarga mereka. Tapi apakah tidak disadari bahwa cara itu juga menyengsarakan taraf ekonomi sesama (maksudnya yang sama-sama ekonomi sulit)? Pungli parkir menjadi beban berat bagi mahasiswa miskin yang karena tugas akademiknya harus bolak-balik fotokopi, misalnya, dan wirausahawan kecil yang harus berkali-kali belanja berbagai keperluan kecil, atau keluarga miskin yang harus bolak-balik dari kelurahan, kecamatan, dan kantor dinas untuk mengurus Jamkesda, KMS, atau minta dispensasi biaya sekolah?. Istilah ekonominya, pungli parkir telah menyebabkan ‘ekonomi biaya tinggi’. Bayangkan, berapa banyak kita harus membayar untuk keperluan ‘berhenti’ beberapa kali di jalan raya (kadang jalan kecil),  di halaman toko kecil (yang sambil belanja kita bisa mengawasi sendiri keamanan kendaraan kita), tempat-tempat publik, atau di halaman perkantoran (yang mestinya gratis?).


Inkonsistensi Penegakan Aturan
Semestinya pemerintah (pemerintah daerah) menegakkan peraturan perparkiran yang sudah ditetapkan dan  dengan tegas memberlakukan sanksi bagi setiap pelanggaran. Tetap meraknya pungli perparkiran ini patut ditengarai adanya pembiaran oleh pemerintah daerah (baik melalui sistematika birokrasi maupun alasan kekurangan sumberdaya penegak aturan atau karena alasan ‘membiarkan orang mencari nafkah’). Hakekat permasalahan ini adalah perlunya para pemangku kepentingan menjunjung tinggi peraturan perparkiran yang sudah disepakati. Perlu diingat bahwa peraturan daerah adalah suatu ‘kesepakatan’ antara para pemangku kepentingan perparkiran. Berapa pun taripnya (termasuk bila taripnya harus ‘mahal’ seperti yang saat ini dipungut oleh para tukang parkir), bila memang sudah diatur dan ditetapkan dalam peraturan daerah, semua pemang kepentingan harus tunduk. Dengan demikian  transaksi jasa perparkiran akan menjadi lebih ‘fair’.  Tentu saja tidak berarti pemerintah daerah bisa menetapkan tarip parkir sesukanya. Justru itulah demokrasi harus dijalankan dengan seutuhnya. Proses pembahasan tarip parkir sebelum ditetapkan harus melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah daerah, tukang parkir, dan pengguna jasa parkir.  Perdebatan bisa saja sangat sengit, tetapi ketika sudah disepakati  aturannya (tempat maupun taripnya), sudah semestinya semua pihak mematuhinya: pengguna parkir membayar dan tukang parkir menerima sesuai tarip parkir. Jadi tidak ada alasan lagi tarip parkir tidak sesuai dengan ‘kebutuhan hidup layak’ tukang parkir, atau tidak sesuai dengan ‘kemampuan bayar’ pengguna jasa parkir.

Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi harus komprehensif dan holistik. Pertama, definisi korupsi harus dipertegas. Mestinya korupsi (secara hakekat) dimaknai  bukan saja sebagai kegiatan yang menimbulkan ‘kerugian negara’ sebagaimana definisi formal saat ini. Korupsi harus mencakup segala tindakan mengambil keuntungan tanpa hak dan kewenangan. Pungli parkir adalah salah satunya. Yang disoroti bukanlah pada besar-kecilnya tarip resmi, tapi pada tidak dipatuhinya aturan yang sudah ditetapkan. Kebiasaan korupsi kecil-kecilan (meski secara kumulatif jumlahnya bisa fantastis!) seperti pungli parkir  ini harus dihentikan.  Korupsi ‘kecil-kecilan’ ini harus dihapus, karena bila dibiarkan akan berkembang menjadi ‘watak’ yang sifatnya langgeng dan menular.
Kalau memang uang jasa parkir di rasa kurang oleh para tukang parkir, maka perjuangkan tarip parkir yang ‘lebih rasional’ melalui jalur yang ada. Toh selama ini komunitas parkir selalu dilibatkan dalam pembahasan tarip parkir. Alasan memberi pekerjaan pada tukang parkir ‘unauthorized’ juga tidak bisa sepenuhnya dibenarkan. Secara mikro, ada penambahan pendapatan (dan perbaikan taraf ekonomi) pada mereka, tapi di sisi lain menjadi beban bagi masyarakat. Secara makro, pungli parkir ini menjadi salah satu unsur membengkaknya biaya ekonomi, sehingga mengurangi margin keuntungan, menurunkan produksi, menyempitkan kesempatan kerja. Bukankah ini mengarah ke apa yang disebut ‘lingkaran setan’?
Mari kita mulai dari memperbaiki hal-hal kecil, dari lingkungan kecil, untuk mencapai hasil yang besar dan skala yang massif.

https://penerjemahahli.wordpress.com