TELITI SEBELUM MEMBELI


Adagium kuno caveat venditor menyiratkan ‘hendaknya penjual berhati-hati’. Prinsip ini  mengandung maksud bahwa ‘penjual’ harus beritikad baik dan bertanggungjawab dalam menjual produknya kepada pembeli atau konsumen. Berbeda dengan prinsip caveat emptor yang ‘meminta’ pembeli teliti (berhati-hati) sebelum membeli (karena penjual mungkin curang), prinsip caveat venditor ini membebankan tanggungjawab kehati-hatian pada penjual (produsen). Artinya, penjual harus bertanggungjawab dengan produk yang dijualnya. Maka pelaku usaha wajib beritikad baik memberikan perlindungan dan pendidikan pada konsumen, salah satunya melalui informasi produk yang jujur.

Tanggungjawab Produsen
Bagaimanapun dalam bertransaksi pelaku usaha mengenali produknya dengan lebih baik. Mereka mengenali kelebihan dan kelemahan produknya dengan baik dan mengatur strategi sedemikian rupa untuk menonjolkan kelebihan dan menutupi kelemahan. Konsumen, yang tidak banyak tahu tentang produk yang ditawarkan, bisa terjebak pada pilihan yang sesat.  Maka, kita mengenal pedoman bijak “teliti sebelum membeli”  yang, karena ada kemungkinan penjual tidak jujur dan tidak adil dalam bertransaksi. Ini menjadi penting karena ketika ternyata kemudian barang yang dibeli cacat atau tidak seperti yang dijanjikan, konsumen akan kesulitan meminta ganti rugi. Pelaku usaha akan meminta konsumen membuktikan bahwa kerusakan itu bukan disebabkan oleh kesalahan konsumen agar konsumen bisa mendapatkan ganti rugi. Namun, setelah berlakunya UU No. 8 tahun 1999, khususnya pasal 22, maka yang berlaku adalah pembuktian terbalik. Ketika konsumen menagih ganti rugi pada pelaku usaha atas suatu produk yang cacat atau rusak, maka pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa produk yang dijualnya tidak cacat produksi. Jadi perusahaanlah yang harus berinisiatif membuktikan sah tidaknya klaim konsumen atas ganti rugi.


Wujud Tanggung Jawab
Tanggungjawab pelaku usaha adalah memenuhi hak-hak konsumen, diantaranya hak atas keselamatan,  mendapatkan informasi, memilih, dan untuk didengar.  Selain itu, menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 menyebutkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan advokasi, mendapatkan pendidikan, tidak diperlakukan diskriminatif, mendapatkan ganti rugi.

Produk yang Baik
Tidaklah mudah menenetukan definisi produk yang baik. Namun secara umum bisa dikatakan bahwa produk (khususnya barang) yang baik adalah produk yang:
n  Bisa diandalkan (berfungsi semestinya)
n  Umur pakai semestinya
n  Bisa dipelihara dan diperbaiki
n  Aman bagi kesehatan dan keselamatan
Pelaku usaha memiliki pengetahuan yang cukup tentang kualitas produk, sedangkan konsumen sebaliknya.   Teori Biaya Sosial mengemukakan bahwa produsen yang baik adalah produsen yang selalu memperhitungkan risiko sosial bagi konsumen. Produsen perlu mengingatkan risiko pemakaian produk pada konsumen. Apabila terjadi biaya sosial akibat pemakaian produk itu maka produsen yang menanggungnya.
Memang ini berimplikasi biaya bagi perusahaan berupa
Ø   Kerugian ekonomis (biaya asuransi tinggi)
Ø   Konsumen mudah menuntut
Ø   Produk semakin mahal, biaya tambahan
Ø   Menafikan kesalahan konsumen
Namun bila perusahaan melihat dari kacamata investasi, maka ‘biaya’ yang dikeluarkan untuk memelihara kepuasan konsumen itu pada gilirannya akan menjadikan sumber keuntungan (profit center). Secara matematis, jumlah pembelian akan meningkat melalui pembelian baru dan atau pembelian berulang. Secara psikologis, kepuasan konsumen akan menurunkan risiko keluhan. Tinggal paradigma seperti  apa yang akan diusung pelaku usaha: meraup untung secepatnya (dengan risiko mengorbankan perlindungan konsumen) atau memupuk kepuasan konsumen  untuk kesetiaan pelanggan? Supriyono