Jumat, 10 Januari 2014

MENGAPA BISNIS HARUS ETIS


MENGAPA BISNIS HARUS ETIS?

Atas suruhan ibunya, seorang anak kecil membeli satu kilogram telur di warung. Betapa kagetnya si anak saat menerima sekantung telur dari pemilik warung. Dia curiga telurnya tidak genap 1 kilogram.  Dia pun protes, “Pak kenapa sedikit sekali? Tidak genap 1 kilogram ya?” Dengan santainya pemilik warung menjawab: “Sengaja saya kurangi nak, supaya kamu ringan  membawanya.” Jengkel dengan kecurangan itu, si anak menyerahkan uangnya pada pemilik warung. Kali ini, pemilik warung yang kaget dan berseru, “Eh nak, uangnya kurang nih. Kan mestinya Rp. 10.000,-? Dengan kalem si anak menjawab, “Sengaja saya kurangi biar Bapak mudah menghitungnya.”

Perspektif Moralistik
Hakikatnya, orang menjalankan usaha komersial untuk menghasilkan keuntungan , sebagai upaya  meningkatkan kesejahteraan pemilik dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.  Keuntungan merupakan kata kunci dalam kegiatan bisnis, seperti yang dikatakan oleh Fry dkk (2002) bahwa sebagai sebuah organisasi yang berusaha memenuhi permintaan barang dan jasa yang dibutuhkan pelanggan,  bisnis selalu mencari keuntungan. Sejatinya, keuntungan  adalah ‘darah’  bagi setiap kegiatan usaha perdagangan barang maupun jasa. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan usaha itu sangat bergantung pada keuntungan  untuk kelangsungan hidupnya. Demikian pula,  perkembangan usaha pun sebagian ditentukan oleh besar-kecilnya laba yang ditahan dan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan meningkatkan skala (scale-up) sehingga sebagai ‘organisme’, perusahaan pun perlu tumbuh agar bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Namun, bisnis juga perlu mengadopsi nilai- nilai moral agar bisnis dijalankan secara etis. Bisnis yang etis memperhatikan kepentingan holistik semua pemangku kepentingan, dalam pengertian hubungan bisnis harus bersih, jujur, saling menguntungkan, dan bermanfaat. Mencari keuntungan tidak boleh menghalalkan segala cara.  Pedoman moral menjadi penting karena menurut Robert Heilbroner, seorang ekonom Amerika, kalau pencarian  keuntungan menjadI motif utama  bagi  bisnis, dengan sendirinya bisnis mengejar kepentingan  diri yang berlanjut pada tumbuh suburnnya egoisme. Pengusaha yang egois selalu melihat kelangsungan bisnisnya  untuk kepentingannya sendiri dan menutup mata   kepentingan orang lain. Kalau perlu dia mengorbankan kepentingan orang lain untuk kepentingannya sendiri.  Bisnis yang berhasil, masih menurut Fry dkk (2002) adalah bisnis unggul sepanjang waktu, bukan hanya bisnis yang berjaya  sesaat  karena muslihat tertentu. Bisnis yang berhasil juga tidak mencari keuntungan finiansial besar dengan mengorbankan  moralitas, komitmen kerja yang rendah, produk-produk yang buruk,  atau perilaku tidak etis lain.
Dalam literatur Yunani kuno,   Aristoteles (384-322 SM) bahkan menolak perdagangan dan penumpukan kekayaan karena kegiatan menambah kekayaan adalah tindakan tidak  etis.  Dalam kegiatan krematistik yang  berorientasi penumpukan kekayaan, dengan uang sebagai alat penyimpan  kekayaan,  ada kecenderungan  penguasaan kekayaan  secara tidak  merata dan sangat tidak terbatas. Perilaku bisnis yang tidak etis juga ditimbulkan oleh sifat cinta uang (phylargia).  Dengan prinsip deontologi, ajaran agama  sudah  menetapkan batas yang diwajibkan untuk dilakukan, dan batas yang dilarang. Immanuel Kant (1724-1804), seorang  filsuf Jerman ternama, menyebut bahwa sebuah tindakan disebut baik bila dilakukan berdasar  prinsip  ‘imperatif kategoris’,  yaitu kepatuhan  tanpa syarat pada norma yang sudah ditetapkan.


Relevansi Etika vis-a-vis Hukum
Dalam menanggapi protes masyarakat, sejumlah  perusahaan berdalih bahwa mereka telah  mematuhi semua ketentuan dan peraturan yang berlaku.  Dengan kata lain, mereka merasa sudah  benar. Mematuhi peraturan dan ketentuan yang  berlaku tidak otomatis menjamin bahwa perusahaan sudah berlaku  etis.  Fry dkk. (2002) mengatakan bahwa perusahaan yang berperilaku taat hukum baru memenuhi standar perilaku minimum yang berlaku di masyarakat. Ketidakpatuhan pada hukum berakibat pada hukuman, atau lebih buruk lagi berupa kebangkrutan karena kehilangan kepercayaan dari pelanggan, karyawan, pemasok, dan pesaing. Namun, perlu diingat bahwa bisnis yang tidak melanggar hukum  tidak berarti sudah benar atau baik.  Adagium ini dikuatkan Boatright (1993)  yang menolak adagium klasik yang diadopsi para pelaku usaha bahwa “Bila bisnis sudah taat hukum, maka berarti secara moral tidak ada masalah” . Menurutnya, lebih tepat dikatakan bahwa bahwa “Bila suatu tindakan secara moral salah, maka kemungkinan secara hukum juga salah.”  Perusahaan Amerika “Kansas Asbestos Company”  mendapat untung besar dengan memindahkan  pabriknya ke Afrika Barat. Perusahaan itu mematuhi semua persayaratan yang berlaku di wilayah tersebut. Tetapi dimensi etis perlu dipertanyakan, mengingat perusahaan itu merusak kesehatan para pekerja Afrika, yang di negerinya sendiri telah dilarang. Demikian pula perusakan lingkungan oleh kegiatan penambangan atau pengelolaan hutan. Secara hukum, semua perijinan dan persyaratan telah terpenuhi. Tetapi sudah cukupkah hukum mengatur dan  melindungi kepentingan warganya dari keserakahan bisnis kapitalistik itu?
Ada alasan mendasar mengapa sikap etis diperlukan untuk melengkapi hukum. Bertens (2002) menyebutkan  lima alasan, yaitu bahwa (1) hukum tidak mengatur segala hal, sehingga selalu ada bagian yang bisa manipulasi; (2) perkembangan hukum selalu kalah cepat dengan perkembangan bisnis, sehingga, sebagai contoh,  undang-undang tentang lingkungan baru dibuat ketika kerusakan lingkungan sudah sangat parah;  (3) selalu ada celah hukum yang sering disalahgunakan; (4) penegakan  hukum yang lemah; dan (5) hukum selalu memiliki multitafsir, yang menyiratkan perlunya landasan  moral agar tafsir bisa jujur dan bersih.
Menurut teori keutamaan manusia harus mengedepankan kebajikan (virtue) dalam setiap sikap dan perilakunya. Ini selaras dengan yang dikatakan Solomons (1993) bahwa teori keutamaan mensyaratkan manusia sebagai makhluk moral harus menanyakan pada dirinya sendiri apakah mereka telah menjadi orang yang adil, jujur, murah hati, dan sebagainya. Ini yang disebut hakikat internalisasi kultural. Bukan sekedar bertanya apakah yang mereka lalukan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan atau  kejujuran yang diatur undang-undang semata. 

Persaingan Bisnis dan Perilaku Etis
Persaingan merupakan salah satu mesin penggerak kemajuan dalam bisnis. Kotler (2003) menyatakan bahwa seiring dengan semakin  kompetitifnya pasar, memfokuskan  strategi pada pelanggan saja tidak cukup. Perusahaan  harus mulai memperhatikan  pesaing.  Dengan persaingan bisnis dipaksa mencari cara-cara kreatif dan inovatif dalam memelihara kelangsungan hidupnya. Bila dilakukan secara sehat, persaingan adalah ‘jamu’ bagi perkembangan usaha. Persaingan usaha  menyiratkan perlunya ‘strategi mengalahkan pesaing’.  Persaingan yang sehat tentu menuntut kreatifitas dan  inovasi yang menghasilkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Diperlukan upaya yang tekun, telaten, dan  terus menerus untuk berkembang secara sehat, dengan cara-cara yang fair.Masih menurut Kotler (2003) persaingan melibatkan pesaing yang bukan saja pembuat atau penjual barang serupa, tetapi juga barang substitusi. Selain itu, persaingan juga bisa lebih sengit dengan  ancaman masuknya pemain baru, atau meningkatnya  posisi tawar konsumen karena kemampuan mereka memilih penjual barang atau penyedia jasa, padahal persaingan yang ada sudah melibatkan banyak pemain dan sudah padat, seperti suatu pertarungan di laut merah, dimana pemainnya terlalu banyak dan harus bertarung berdarah-darah.
Kondisi terakhir ini, terutama telah menyebabkan persaingan yang tidak sehat, seperti perang harga,  perang iklan, atau peluncuran produk baru. Menjual barang dengan harga murah sering disertai penurunan kualitas produk maupun  layanan. Secara internal, upah karyawan pun ditekan agar harga bisa bersaing. Lebih buruk lagi, perang harga juga disertai keengganan mengeluarkan biaya pengelolaan limbah.  Bisa dikatakan bahwa malapraktik bisnis bisa berdampak merugikan pada, diantaranya, konsumen, karyawan, dan lingkungan.

Korban Malapraktik Bisnis
Perang  promosi cenderung menimbulkan kerugian pada konsumen. Kepiawaian teknik visualisasi  grafis dan pengolahan bahasa iklan (copywriting) cenderung mengkamuflase kualitas barang, dari yang sebenarnya biasa-biasa saja dikesankan sangat istimewa. Biaya iklan yang besar juga selalu membebani harga jual.  Akibatnya, konsumen harus membayar lebih mahal dari seharusnya.
Persaingan merebut pembeli juga mendorong pelaku usaha menempuh segala cara, termasuk dengan  mengelabui konsumen. Dalam skala masif, banyak konsumen yang menanggung rugi karena rumah yang dibelinya tidak sesuai dengan spesifikasi  yang dijanjikan pengembang.  Di sisi lain, konsumen pembiayaan konsumen terkaget-kaget karena banyak klausul ‘siluman’ yang baru  diketahuinya belakangan, yang  memojokkan posisinya. Sementara itu, banyak sekali ‘anggota’ atau ‘anggota’ lembaga keuangan non-bank yang harus menangis karena dana yang dititipkannya tak pernah bisa diambil kembali.
Perusahaan mengetahui dengan persis desain produknya, bahan yang digunakan, proses pengolahannya, pengujian keamanannya, dan promosinya. Di sisi lain, konsumen percaya begitu saja pada perusahaan saat melakukan transaksi. Tak heran,  perusahaan yang curang bisa menyembunyikan cacat produknya dan menonjolkan kelebihannya. Secara umum kecurangan perusahaan, sebagaimana dilawan oleh gerakan konsumerisme yang dimotori oleh Ralph Nader dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: produk yang brengsek, promosi yang tidak jujur, dan cara berdagang yang curang.
Produk yang tidak baik bisa dimaknai tidak sesuai dengan yang dijanjikan, berbahaya, lebih mahal dari seharusnya, atau  tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen. Barang berkualitas rendah mungkin  disebabkan oleh bahan  yang berkualitas rendah (cacat bahan) atau proses pengerjaannya yang tidak sesuai standar produksi (cacat produksi). Dalam bidang jasa, kualitas yang buruk biasanya terwujud pada pelayanan yang tidak tepat waktu, tidak ramah, tidak profesional, dan / atau tidak sesuai kebutuhan. Posisi konsumen jasa menjadi lebih  rentan, karena  sifat  jasa  yang  baru  bisa dirasakan  saat dikonsumsi. Ini berbeda dengan barang yang bisa dilihat atau  diukur sebelum dikonsumsi.
Sejak diundangkannya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia tingkat kesadaran konsumen semakin tumbuh seiring dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di tingkat pusat dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di tingkat daerah (Sudaryatmo, 2006).  Fungsi perlindungan diberikan melalui fungsi ajudikasi dan mediasi untuk sengketa yang timbul antara konsumen dan pengusaha. Selain itu ada lembaga yang  dibentuk atas inisiatif masyarakat,  yang disebut Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan ombudsman. Kita tentu berharap lembaga-lembaga ini berparan optimal dalam mengawal penegakan perilaku bisnis agar etis.

Selain itu, sebagian perusahaan berusaha memenangkan persaingan dengan menekan biaya produksi, yang salah satunya mewujud pada biaya upah yang  rendah.  Sungguh ironis bila perusahaan merugikan karyawannya sendiri, yang mestinya diperlakukan  istimewa ‘sebagai anggota keluarga perusahaan’. Seperti yang dikatakan Abby (2006), kerugian karyawan biasanya berupa tidak terpenuhinya hak-hak normatif mereka berupa hak ekonomis, hak politis, hak medis, dan hak sosiologis, setelah  mereka memenuhi kewajiban-kewajiban yang sudah diatur secara ketat dan diawasi secara galak oleh perusahaan.  Meski Undang-Undang No. 23 tahun 2003 telah mengatur hubungan kerja sedemikian rupa antara pengusaha dan karyawan,  dalam praktiknya, hubungan keduanya sering berjalan timpang. Ketergantungan ekonomis karyawan pada perusahaan karena sempitnya kesempatan kerja menempatkan karyawan pada kepasrahan yang menahun.
Karyawan sering berada pada posisi tidak berdaya. Menolak aturan perusahaan yang sangat berat dan  mengekang berarti kehilangan kerja yang menghasilkan uang demi kepul asap dapurnya. Karena adanya ketimpangan kuasa terhadap perusahaan yang  ‘jahat’, para karyawan, terutama yang berlabel buruh, sering mengalami dilema kronis antara terus bekerja dengan kondisi buruk atau berhenti kerja dengan risiko menelantarkan keluarga.
Maka, langgenglah para buruh bekerja dengan kondisi kerja yang buruk, kompensasi dan remunerasi yang rendah, penetapan waktu kerja dan libur atau cuti yang tidak manusiawi, dan tentu saja, kegiatan sosial maupun politik yang dikekang.
Sayangnya, sebagian besar karyawan tidak memiliki sistem yang solid untuk memperjuangkan hak-hak normatif mereka.  Hak-hak dasar yang mestinya menjadi fondasi kesejahteraan karyawan  ini  rawan dimanipulasi sedemikian rupa melalui kooptasi yang sistematis, terstruktur, dan masif, diantaranya dengan membentuk serikat pekerja ‘pesanan perusahaan’.  Malah  sebagian perusahaan  melarang pembentukan serikat pekerja. Ini menjadi  ‘pintu  masuk’ sebuah  labirin panjang berupa  rendahnya kesejahteraan buruh. Tanpa organisasi ini, perjuangan  individual  menuntut kesejahteraan  menjadi sangat berat. Tak pelak, perusahaan adalah pemeagang kuasa tunggal untuk  menentukan segala peraturan perusahaan yang searah. Tidak ada perjanjian kerja bersama, karena tidak ada representasi  karyawan atau buruh. Maka, terampaslah hak ekonomis, medis, sosiologis, dan politis karyawan.

Bisnis yang baik harus memprhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu masyarakat dan lingkungan.  Semangat ‘triple bottom lines’  mengingatkan pelaku bisnis untuk tidak semata mengejar keuntungan finansial (financial profit) semata,  tetapi juga harus berkontribusi pada manfaat bagi masyarakat (social profit) dan melestarikan lingkungan (environmental profit).  Karena alasan menekan biaya produksi, sejumlah perusahaan membuang limbah pabriknya ke perairan umum seperti sungai. Bukan hanya perusahaan skala besar yang membuang limbah polutan di  wilayah  publik, usaha rumahan seperti binatu yang jumlahnya sangat banyak itu juga berkontribusi dalam pencemaran  lingkungan. Mereka enggan mengolah limbah karena akan mengurangi margin keuntungannya. Pengalihan fungsi hutan yang mengakibatkan banjir juga dilandasi  keserakahan kapitalisme yang tak bermoral. Polusi industri merambah air, tanah, dan udara sehingga memperburuk kualitas daya dukung lingkungan.
Kerusakan lingkungan berdampak buruk bagi masyarakat. Di lingkungan kompleks usaha perhotelan,  yang semuanya menggunakan sumur dalam, warga sekitar kesulitan air. Warga yang tinggal di sekitar pabrik menderita gatal-gatal karena airnya tercemar logam berat, atau sesak napas yang timbul dari zat kimia yang terkandung dalam limbah asap. Sama buruknya, masyarakat terganggu usaha karaoke atau diskotik di lingkungan padat penduduk.  

Paradigma Pragmatis
Meski hingga saat ini sejumlah pelaku usaha masih meragukan konsep moral dan etis dalam kegiatan  bisnis karena dianggap hanya menjadi biaya sosial, absurd dan naif,
sejumlah perusahaan besar sudah membuktikan manfaat dari bisnis etis. Kepedulian Merck and  Company pada pengobatan penyakit “river blindness”  pada masyarakat desa yang tiinggal di sepanjang tepi sungai di wilayah-wilayah tropis di Afrika dan Amerika Latin terbukti menjadi inivestasi sosial yang kelak membuahkan keuntungan, termasuk keuntungan finansial. Dengan mengambil risiko kerugian material untuk meneliti, menguji, dan memproduksi obat gratis untuk para penduduk miskin yang nyaris putus asa dirundung sakit luar biasa dan terancam kebutaan, nama Merck and Company mendapat simpati masyarakat sebagai perusahaan yang peduli pada isu kemanusiaan dan akan membalasnya dengan sikap positif pada perusahaan. Demikian pula, kepedulian Perusahaan  itu sigap mengantar  streptomycin ke Jepang untuk memberantas tuberculosis setelah  Perang  Dunia II. Meski saat itu tidak mendapatkan keuntungan finansial, saat ini Merk and Company dikenal sebagai perusahaan farmasi Amerika terbesar di Jepang saat ini (Velasques,  2006).
Di waktu yang lain, Johnson & Johnson (J&J) membuktikan bahwa tanggungjawab keamanan produk bagi konsumen tak bisa ditawar-tawar lagi. Ketika diduga bahwa  Tylenol produksinya menyebabkan tujuh orang meninggal misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago tahun 1982,  J&J segera menarik semua produknya dari pasaran dan melakukan penyelidkan serius.  Belakangan diketahui bahwa keracunan itu bukan disebabkan oleh kesalahan produksi J&J tetapi karena ada orang yang sengaja memasukkan sianida ke bototl-botol Tylenol. Kesigapan J&J dalam menjaga kesehatan dan  keselamatan konsumen menumbuhkan reputasi bagus di mata masyarakat. Saat Tylenol kembali masuk ke pasar  dengan kemasan yang lebih aman, produk itu kembali menjadi pemimpin pasar.
Doug Lennick dan Fred Kiel (2005) sebagaimana dikutip oleh It Pin (2009) menyimpulkan bahwa perusahaan yang menerapkan standar etika dna moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Miliuner Jon M Huntsman (2005) menegaskan bahwa dirinya sukses besar karena memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak  lain.

Perubahan Kultural
Mengatur pelaku usaha dengan perangkat hukum tentu sudah banyak dilakukan. Tengoklah undang-undang tentang perlindungan konsumen, ketenagakerjaan, larangan monopoli, dan sebagainya. Selain itu, juga sudah dibentuk sejumlah badan, lembaga, atau kantor yang terkait dengan ikhtiar perbaikan tata kelola usaha  yang berupa arbitrase, mediasi, atau ajudikasi.  Sayangnya, ternyata hukum yang ada belum benar-benar bisa menjadi panutan dalam pengelolaan usaha yang sehat. Selalu ada celah hukum yang dimanfaatkan orang untuk mengejar kepentingan pribadi. Jargon yang populer adalah bahwa mereka tidak ‘breaking the rule’.  Mereka mengklaim tidak melanggar hukum apa pun. Yang mereka lakukan adalah ikhtiar kreatif dengan mensiasati aturan (bending the rule). Bukankah sebenarnya yang dimaksud adalah  mengakali hukum? Disinilah pentingnya pertimbangan etis dalam kegiatan bisnis, karena ternyata hukum tidak selalu memadai untuk membingkai perilaku pelaku usaha.
Kesadaran berperilaku etis bisa menambal celah-celah hukum yang memang tidak akan pernah utuh dan sempurna.  Jadi selain penegakan aturan dengan aturan hukum (langkah  struktural) yang sifatnya lahiriah dengan pembebanan sanksi, denda, atau hukuman diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk menanamkan nilai-nilai etis (perubahan  kultural) yang menyentuh perbaikan dimensi lahir maupun batin. Bisnis berlangsung baik bukan karena takut sanksi atau hukuman, tetapi karena memang berniat berbuat baik. Perubahan kultural ini bersifat evolutif tetapi fundamental melalui penumbuhan kesadaran tentang kebajikan dalam hubungan dengan sesama.
Timbul pertanyaan, bagaimana mengukur bahwa suatu sikap atau perilaku bisnis sudah etis atau belum. Sebagai sebuah  konsep yang, menurut sebagian orang, absurd, penafsiran etika memerlukan penilaian yang jujur dan bersih. Paling tidak ada tiga pedoman dasar untuk mengukur apakah pengelolaan  usaha sudah etis: (a) mendengarkan hati nurani, yaitu lubuk hati yang paling dalam, bukan hati dalam arti kemauan; (b) menerapkan prinsip empati, yaitu bahwa penjual harus bisa menempatkan diri seolah-olah sebagai pembeli; dan (c) menerapkan audit sosial, dengan mendengarkan  atau memperhatikan kepatutan atau kelayakan dari sudut pandang masyarakat. Artinya, dalam berbisnis semestinya pelaku usaha selalu ‘bertanya’ pada hati nuraninya apakah  yang dilakukannya baik atau tidak. Selain itu, kebiasaan tulus memahami pemikiran dan perasaan konsumen akan menjadi filter bagi pengusaha untuk tidak merugikan konsumen. Prinsip ini sejalan dengan kata mutiara ‘jangan mencubit bila kau tak ingin dicubit.’ Dan tak kalah pentingnya, pertimbangan baik dan buruk juga harus memperhatikan kemaslahatan masyarakat.
Diperlukan advokasi pada para pemangku kepentingan. Pertama, perlu inkulturasi paradigma investasi sosial berupa praktik bisnis etis. Mereka perlu sadar bahwa perilaku etis merupakan modal sosial yang pada saatnya akan meningkatkan profitabilitas. Ini penting mengingat sejumlah   pengusaha menganggap keharusan bersikap dan berperilaku etis dalalm bisnis adalah biaya sosial yang memberatkan dan mubazir. Kedua, perlu advokasi pada pemerintah agar lebih  asertif dalam menjalankan fungsi pembuatan kebijakan dan peraturan, pengawasan, dan pembinaan.  Fungsi perijinan usaha harus diperketat. Bisa juga diperkenalkan pemberian insentif bagi perusahaan yang berlaku etis. Ketiga, perlu pendidikan pada masyarakat (termasuk konsumen dan tenaga kerja) agar lebih kritis dalam melindungi kepentingan diri mereka dari kemungkinan mendapat produk yang buruk, tertipu iklan yang tidak jujur, atau terjerat muslihat jahat dalam transaksi. Sebenarnya, bila sudah terbentuk masyarakat  yang kritis,  akan sulit bagi mereka untuk ‘dirugikan’ oleh pelaku usaha  yang culas dan jahat.  Bukankah selalu lebih baik bila kita ‘Teliti sebelum membeli!’

Supriyono, MM
Wakil Ketua Jogja Mediation Center (JMC), Mediator

Korespondensi email: mediasi_konflik@yahoo.com