Jumat, 10 Januari 2014

SEMUA ORANG BISA JADI KORUPTOR?



Sebenarnya korupsi bukan mutlak perilaku pejabat negara seperti para anggota DPR yang bermain-main dengan anggaran,  yang selalu berharap dan ‘bersyukur’ menerima gratifikasi, yang selalu ‘khusyu’ berhitung rente proyek yang bakal diterima.    Meski dengan nilai  yang relatif kecil secara individual, tetapi karena terjadi secara masif, maka  nilai kumulatifnya pun luar biasa besar.  Pungutan liar berupa ‘jasa parkir’ tak terhitung besarnya. Tanpa alas hak,  banyak orang-orang liar memungut ongkos jasa parkir.  Bahkan di kantor-kantor pemerintah yang mestinya gratis. Aneh kan? Ini merampok  namanya. Apakah mereka punya kewenangan? Tentu tidak. Jangan tanya akuntabilitas pengelolaan uang parkir. Tak bakalan disetor ke pemerintah agar bisa kembali dimanfaatkan untuk kemanfaatan  masyarakat (kalau  tidak keburu dkorupsi, tentu saja). Perhatikan juga saat mengisi BBM di stasiun pengisian bahan bakar. Bukan rahasia lagi bahwa pelayan cenderung  ‘membulatkan’ tagihan yang harus dibayar konsumen. Jangan bilang: “Ah cuma sedikit saja.”  Jumlahnya tentu fantastis bila dalam sehari dia mendapat ‘kelebihan ‘ dari seribu konsumen.
Korupsi tidak hanya berupa uang.  Di tingkat pejabat,  para anggota dewan biasa korupsi waktu. Datang telat pulang cepat.  Pun mereka hanya datang pada waktu sidang, karena  ada tunjangannya. Nah, mereka gemar disebut 3D: Datang, Duduk,  dan dapat Duit. Pejabat eksekutif  juga dapat fee dari negosiasi kebijakan, transaksi  ‘dagang sapi’,  atau ‘musyawarah politik’ tertentu.  Di akar rumput, pedagang lesehan menggusur hak pejalan kaki dengan merampas trotoar.  Pedagang asongan malah menggelar dagangan di kursi tunggu kantor-kantor publik, termasuk puskesmas dan rumah sakit. Akibatnya, para pasien (yang sudah pasti menanggung  sakit) terpaksa berdiri saat menunggu giliran  diperiksa.  Tak kalah seremnya adalah kebiasaan pelajar dan mahasiswa menyontek saat ujian. Toh ketika sudah berbuah nilai bagus tak ada orang yang mempermasalahkan? Demikian pikiran mereka. Dan memang, belum pernah ada anak sekolah  dikeluarkan atau diajukan ke meja hijau ‘hanya’ karena menyontek.
Terbayang bagaimana jadinya bila orang-orang di akar rumput ini berkesempatan  memimpin negeri ini suatu saat nanti. Bakat korupsi sudah mereka pupuk sejak mereka belum punya kesempatan besar.  Jangan-jangan mereka tidak beda dengan para pejabat petahana yang kini berkuasa.  Ada pendapat ‘nakal’,  jangan-jangan kita semua sebenarnya adalah ‘pencoleng’ atau ‘penggarong’. Ketika kita meneriaki ‘maling’ pada para koruptor, jangan-jangan kita bukan sedang mengedepankan nilai moral dan integritas.  Siapa tahu sebenarnya yang kita maksud adalah ‘gantian korupsinya dong!’. Banyak contoh, pegiat LSM yang dulunya vokal melawan korupsi akhirnya duduk di meja birokrasi menyantap kue korupsi.  Mahasiswa yang dulu ‘garang’ saat demonstrasi  pun akhirnya terlena oleh ‘candu korupsi’.  Tutup mata, tutup telinga, dan tutup mulut. Benarkah?
Supriyono