Rabu, 24 November 2010

CAVEAT EMPTOR


Ada pameo bahwa konsumen adalah raja (tapi raja dengan “kuasa” terbatas). Prinsip marketing ini telah lama didengungkan dan bahkan mungkin telah ditanamkan pada jutaan kepala para tenaga pemasaran. Namun dalam praktiknya masih saja dijumpai perselisihan antara konsumen dengan perusahaan. Meskipun berstatus ‘raja’, tapi lebih sering mereka menjadi ‘hamba’ dalam suatu transaksi bisnis. Konsumen tidak punya posisi tawar yang memadai karena:
 Daya beli rendah dan preferensi terbatas
 Informasi dan pengetahuan rendah
 Keahlian dan waktu terbatas

Tanggungjawab Produsen
Bagaimanapun dalam bertransaksi pelaku usaha mengenali produknya dengan lebih baik. Mereka mengenali kelebihan dan kelemahan produknya dengan baik dan mengatur strategi sedemikian rupa untuk menonjolkan kelebihan dan menutupi kelemahan. Konsumen, yang tidak banyak tahu tentang produk yang ditawarkan, bisa terjebak pada pilihan yang sesat. Secara tradisional, berlakulah prinsip ‘caveat emptor’ (hendaklah konsumen berhati-hati dalam membeli), karena ada kemungkinan penjual tidak jujur dan tidak adil dalam bertransaksi. Ini menjadi penting karena ketika ternyata kemudian barang yang dibeli cacat atau tidak seperti yang dijanjikan, konsumen akan kesulitan meminta ganti rugi. Pelaku usaha akan meminta konsumen membuktikan bahwa kerusakan itu bukan disebabkan oleh kesalahan konsumen agar konsumen bisa mendapatkan ganti rugi. Setelah berlakunya UU No. 8 tahun 1999, khususnya pasal 22, maka yang berlaku adalah pembuktian terbalik. Ketika konsumen menagih ganti rugi pada pelaku usaha atas suatu produk yang cacat atau rusak, maka pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa produk yang dijualnya tidak cacat produksi. Jadi perusahaanlah yang harus berinisiatif membuktikan sah tidaknya klaim konsumen atas ganti rugi.

Etika usaha menjadi relevan dalam menuntun perilaku usaha. Memang sudah ada norma hokum yang mengaturnya, tapi terkadang hokum menjadi kurang asertif, kurang responsive, dan kurang akomodatif terhadap kepentingan konsumen. Banyak permasalahan ‘kontemporer’ yang belum diatur dalam undang-undang. Tampaknya, perkembangan teknologi dan informasi ini juga belum seiring disertai dengan perkembangan aturan hokum. Bahkan tidak bisa kita pungkiri bahwa bila hanya mengandalkan pada bukti formil dalam suatu penyelesaian sengketa konsumen dengan pengusaha, maka rasa keadilan menjadi terabaikan. Belum lagi adanya kecenderungan klaim bahwa pengusaha tidak melanggar hokum (breaking the law), meskipun yang mereka lakukan adalah membelokkan hokum (bending the law). Adagium ‘what is legally right is morally right’ (bila menurut hukum benar, maka benar pula secara etika) patut dipertanyakan. Orang dengan mudahnya membelokkan hukum untuk kepentingan mereka sendiri: merekayasa dan memanipulasi fakta dan data. Adilkah mereka? Bagaimana kalau kita membalik pernyataan itu menjadi “what is morally wrong is legally wrong too” (bila secara moral salah maka secara hokum mestinya juga salah).


Modus Pelanggaran
Pelanggaran etika oleh pelaku usaha biasanya adalah pelanggaran hak konsumen. Ada beberapa pendapat tentang hak-hak konsumen. John F. Kennedy (1962) di depan Kongres mengusulkan empat hak pokok konsumen yaitu:
 Hak atas keselamatan
 Hak mendapatkan informasi
 Hak untuk memilih
 Hak untuk didengar
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 menyebutkan bahwa konsumen berhak untuk
a. Hak untuk memilih
b. Hak atas informasi
c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
d. Hak untuk mendapatkan advokasi
e. Hak untuk mendapatkan pendidikan
f. Hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif
g. Hak untuk mendapatkan ganti rugi
Tak bisa dipungkiri bahwa masih banyak transaksi bisnis yang kurang berpihak pada kepentingan konsumen. Hak-hak konsumen dilanggar baik karena keteledoran, kekeliruan, maupun kesalahan. Permasalahan juga bersifat individual maupun sistemik. Dalam transaksi kredit, banyak konsumen yang tidak mendapatkan informasi cukup tentang risiko transaksi seperti besaran biaya denda kelambatan angsuran, biaya tagih, dan sebagainya. Bahkan perusahaan pembiayaan atau dealer juga tidak memberikan informasi yang cukup yang bertujuan melindungi konsumen. Ada beberapa kejadian dimana setoran nasabah dilarikan oleh karyawan dan perusahaan tidak mau tahu. Prinsip empati tidak diterapkan. Pun ketika akhirnya terjadi sengketa, perusahaan selalu menempatkan konsumen pada pihak yang salah dan tidak memperhatikan semua keluhan dan pendapatnya. Ini jelas-jelas melanggar UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999.

Dalam bidang kedokteran, konsumen (pasien) berhak untuk
a. Mendapatkan informasi;
b. Memberikan persetujuan;
c. Mengetahui rahasia kedokteran (termasuk isi rekam medis);
d. Meminta pendapat kedua.
Berbeda dengan bisnis pelayanan lainnya, hubungan antara dokter dan pasien bersifat unik. Menurut pandangan dokter yang menjadi obyek transaksi adalah ‘ikhtiar’ (inspanning verbentenis) sedangkan bagi pasien obyek transaksi adalah hasil akhir (resultant verbentenis). Maka tanggungjawab dokter adalah berikhtiar sebaik mungkin demi memberikan yang terbaik bagi pasien (meskipun mungkin pasien tidak sembuh atau malah bertambah buruk), sedangkan pasien selalu mengukur bahwa tanggungjawab dokter adalah menyembuhkan. Pelanggaran etika terjadi ketika dokter melanggar kode etik kedokteran, sedangkan pelanggaran yuridis terjadi ketika dokter melakukan tindakan pidana, perdata, atau administratif.

Konsumen pembeli perumahan, sebagai contoh, berkemungkinan mengalami pelanggaran etika usaha oleh pengembang seperti penjualan fiktif (penipuan), realisasi penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial (kebohongan), pembatalan transaksi sepihak dan kenaikan harga sepihak (ketidakadilan), penolakan pemberian ganti rugi (ketaatan pada hokum), dan sebagainya. Pelanggaran etika pada konsumen kedokteran (pasien) adalah contoh lain yang menarik.

Produk yang Baik
Tidaklah mudah menenetukan definisi produk yang baik. Namun secara umum bisa dikatakan bahwa produk (khususnya barang) yang baik adalah produk yang:
 Bisa diandalkan (berfungsi semestinya)
 Umur pakai semestinya
 Bisa dipelihara dan diperbaiki
 Aman bagi kesehatan dan keselamatan
Pelaku usaha memiliki pengetahuan yang cukup tentang kualitas produk, sedangkan konsumen sebaliknya. Oleh karena itu berlakulah Teori Perhatian Semestinya yang menelurkan prinsip ‘caveat vendictor’ (hendaklah penjual memperhatikan kepentingan konsumen) karena konsumen lemah, kurang informasi & pengetahuan dibanding produsen. Produsen wajib memperhatikan keselamatan konsumen

Teori Biaya Sosial mengemukakan bahwa produsen yang baik adalah produsen yang selalu memperhitungkan risiko sosial bagi konsumen. Produsen perlu mengingatkan risiko pemakaian produk pada konsumen. Apabila terjadi biaya sosial akibat pemakaian produk itu, maka produsen yang menanggungnya.
Tentusaja cara ini mengandung konsekuensi atau kelemahan. Bila langkah ini ditempuh risiko yang mungkin muncul adalah:
 Kerugian ekonomis (biaya asuransi tinggi)
 Konsumen mudah menuntut
 Produk semakin mahal, biaya tambahan
 Menafikan kesalahan konsumen

supriyono.suroso@yahoo.com